Tantangan, Ruas Jalan Itu Saat Pemerintah Kolonial Dapat Dilewati Mobil, Sekarang?

  • Bagikan
AA Gulo2
Adrianus Aroziduhu Gulo (foto dok pribadi)

Lain zaman, lain masalahnya. Kalaupun masalahnya sama tapi zaman berbeda, pasti lain penyelesaiannya. Lain pemimpin, lain kebijakan. Kalaupun pemimpinnya orang yang sama dan kebijakannya sama, tapi zamannya berbeda belum tentu kebijakan tersebut diterima oleh masyarakat.

Mengapa ? Tuntutan kebutuhan masyarakat begitu cepat berubah. Pada jaman kolonial masyarakat biasa takut lewat jalan besar (alan provinsi atau abupaten) karena hanya orang dan kendaraan tertentu yang bisa dijinkan lewat.

Selain itu, mereka takut ditanya surat jalan, takut disuruh kerja rodi, takut diambil barang-barang, takut ditahan, dll. Sekarang ? Seluruh lapisan masyarakat bisa lewat jalan besar tanpa ketakutan, apalagi kalau mereka sudah punya kendaraan baru dan jalan mulus cepat sampai ke tujuan.

Lain lagi yang dialami oleh bapak Katekis Protus Ragimbowo Ndruru (PR Ndruru) saat ia menjalankan tugas sebagai Katekis di wilayah kecamatan Lolowau dan sekitarnhya saat penjajahan Jepang dari tahun 1942 s/d 1945, mengatakan : “ Ba fefu wamakao si gona yaaga, ira guru agama Roma Katolik ba Dano niha, ba oi mafarongogo kho nawoma sohalowo ba agama Roma Katolik ba Dano Niha fao sura.

Alio irugi nawoma surama, boro mesokhi lala me luo dao, itoro moto. Simano goi naso kegiatan nifaluama, ahori maila fefu hadia zalua ba zisamo-samosa guru Roma Katolik. Batebai faila bawa ndraaga boro Pemerintah ba Jepang, wa tebai mukoli gofu ha niha ba mbanua boo/kecamatan boo nalo sura izin moroi ba pemerintah Jepang”

Penulis mencoba menterjemahkan secara harafiah pernyataan bapak Katekis PR Ndruru, sebagai berikut : “ Semua penderitaan yang kami alami guru-guru Roma Katolik di Pulau Nias, kami sebarkan kepada teman-teman guru agama Roma Katolik lewat surat. Surat-surat kami cepat sampai kepada teman teman karena saat itu jalan bisa lewat mobil. Kami tidak bisa bertemu muka karena Pemerintah Jepang tidak boleh seseorang pergi ke kampung lain/kecamatan lain kalau tidak ada surat ijin dari Pemerintah Jepang”

Dari pernyataannya bapak PR Ndruru tersebut di atas salah satu kalimat yang sangat menarik penulis adalah : “Surat-surat kami cepat sampai kepada teman-teman guru agama Roma Katolik, karena saat itu jalan bisa dilewati dengan mobil”.

Berkaitan dengan jalan saat itu bisa dilewati mobil, ada lagi kesaksian bapak PR Ndruru tanggal 6 Juni 1940 mengatakan : “Ketika Pastor Van Der Weijden pulang dari Gunungsitoli naik mobil beliau menjemput saya di Lolowau.

Kemudian kami pergi ke Siromu menjemput peserta kursus agama Roma Katolik dari Lahomi dan Moroo. Kami tidak lama di Siromu kembali ke lolowau dan terus ke Hilisimaetano. Kemudian tanggal 8 s/d 9 Juni 1940 kami dibawa jalan-jalan melihat kampung besar di Nias Selatan seperti : Hilisimaetano-Bawomataluo-Bawodobara-Hilisataro-Telukdalam dan kembali ke Hilisimaetano dan tanggal 10 Juni kursus agama Roma Katolik dimulai”.

Setelah tamat kursus selama 6 bulan bapak PR Ndruru ditugaskan sebagai Katekis di wilayah Kecamatan Lolowau. Saat pemerintahan Jepang bapak PR Nduru selain bertugas sebagai Katekis, juga bertugas sebagai mandur jalan. Itu berarti beliau mengetahui betul kondisi jalan saat itu.

  • Bagikan