Pilkada DKI, Antara Kepuasan dan Ketakutan 

  • Bagikan
Basuki Tjahaya Purnama saat mencoblos di TPS komplek perumahan Pluit (foto tim)

BERITA9, JAKARTA – Keoknya calon Gubernur DKI Jakarta petahana Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Saiful Hidayat di Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta, sesungguhnya telah diprediksi pada medio April, sesaat sebelum hari pencoblosan. Prediksi kekalahan telah di depan mata. Pijakannya yakni hasil survey sejumlah lembaga yang selama ini dikenal memiliki ketepatan dalam memprediksi. 

Pada putaran kedua Pilkada Gubernur DKI yang baru saja usai 19 April lalu, sejumlah lembaga survei telah menempatkan Anies-Sandi unggul atas pasangan petahana.

Kekalahan Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok dan Djarot Saiful Hidayat l, sesungguhnya telah menimbulkan anomali tersendiri. Data sejumlah survey menunjukkan, kinerja Ahok-Djarot tetap diapresiasi publik. 

Lihatlah hasil survei yang dirilis Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada 12 April, yang menyebut kepuasan publik terhadap kinerja Ahok-Djarot mencapai 76 persen. 

Anomali politik itu, kata sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Arie Sudjito, bahwa kekalahan pasangan Ahok-Djarot sangat erat kaitannya dengan kasus hukum yang menjerat Ahok pribadi. 

Seiring dengan bergulirnya kasus dugaan penodaan agama yang dilakukan Basuki di meja hijau, elektabilitas petahana pun melorot. Terlebih, aksi-aksi unjuk rasa terus dilakukan guna menjaga momentum tersebut. 

“Karena terjebak kasus hukum itu, ruang gerak Ahok menjadi terbatas. Ibaratnya, Basuki terjerembap di rawa politik. Semakin jauh melangkah, semakin dalam dan semakin sulit langkahnya,” kata Arie. 

Berposisi sebagai penista agama, Ahok terlihat kesulitan berkampanye, apalagi untuk blusukan ke perkampungan warga. Sebagian besar masa kampanye dihabiskan Ahok untuk menemui warga di Rumah Lembang dan mengunjungi orang sakit. Blusukan diambil alih Djarot. Itupun tidak selalu berjalan mulus.

Pengamat politik senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Indria Samego berkata, pasangan Basuki-Djarot tersungkur di pilkada karena dikeroyok banyak kekuatan. Elite-elite politik bersekutu dengan organisasi-organisasi massa garis keras untuk menggelar ‘penistaan’ terhadap petahana dalam berbagai aksi unjuk rasa.

Politisasi agama menegasikan Basuki juga terjadi di mimbar-mimbar masjid. ‘Akhirnya muncul kekhawatiran publik bahwa Jakarta enggak akan sehat kalau Basuki kembali memimpin. Kalau Basuki terpilih kembali, Jakarta akan terus diganggu.’ jelasnya.

Indria pun sepakat jika perilaku pemilih di DKI Jakarta masih kuat dipengaruhi isu-isu primordial.

Peneliti senior LIPI Mochtar Pabottinggi mengatakan tidak bisa dimungkiri bahwa pasangan penantang diuntungkan dengan berkibarnya isu suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) di pilgub DKI.

‘Lain ceritanya kalau kontestasi tersebut hanya berbasis kompetensi, program, dan kinerja calon,’ ujar dia. (red)

  • Bagikan