Bagaimana Saya Berjihad (Studi Tematik Dalam Tafsir al-Kasysaf Atas Ayat-Ayat Jihad)

  • Bagikan
Cover buku bagaimana saya berjihad (foto hwi/berita9)

Berita9, JAKARTA – Dewasa ini agaknya tidak ada isu tentang Islam yang sensitif  dan diperdebatkan selain jihad. Tema tersebut menjadi perbincangan di dunia internasional, bahkan menjadi tagline utama media-media internasional.

Berbagai pemberitaan yang termuat dalam media massa, ruang diskusi, bahan kajian ilmiah di berbagai penjuru dunia, seharusnya menjadi bahan perenungan dan kajian mendalam guna memberikan pemahaman yang benar tentang jihad agar Islam sebagai agama Rahmattan Lill’alammin benar-benar terwujud dalam pemahaman orang yang salah mengerti tentang makna jihad itu sendiri.

Banyak pakar dan pengamat Barat hingga masyarakat awam yang menjadikan jihad sebagai pembicaraan diberbagai tempat, ternyata salah memahaminya. Pengamat dari Barat malahan melakukan pergeseran dari makna yang sebenarnya. Hal itu menjadi wajar karena konsep jihad akan terbuka sesuai dengan alur masing-masing pemikir. Bahkan, karena pentingna jihad, kaum Khawarijz menjadikan jihad sebagai rukun Islam yang keenam.

Dalam sebuah kisah disebutkan, Abdullah bin Mas’ud ra berkata, “Saya bertanya kepada Rasulullah : Wahai Rasulullah, apakah amal yang paling utama?, “Nabi menjawab, Shalat tepat pada waktunya, “Kemudian apa (lagi,?” Jawab Beliau, “Kemudian berbuat baik kepada kedua orang tua,” Kemudian apa (lagi),?” Beliau menjawab, “Jihad di jalan Allah,” Lalu saya diam. Jika saya bertanya lagi, tentu Nabi menambahkan jawaban.

Menjadi stereotip pandangan Barat, bahwa jihad fii shabilillah adalah perang suci (the holly war) untuk menyebar luaskan agama Islam. Dalam pandangan Barat, Islam disebarkan keseluruh dunia dengan kekerasan atau pertumpahan darah. Padahal,  the holly war itu tidak dikenal dalam perbendaharaan Islam baik klasik maupun modern.

Istilah the holly war berasal dari Eropa dan dipahami sebagai perang karena alasan-alasan keagamaan. Barat mencap Islam sebagai agama yang kerap kali berperang.

Dari kalangan Islam sendiri, sejumlah orang mengartikan jihad hanya satu makna, perjuangan senjata yang menawarkan alternatif hidup mulia atau mati syahid (‘is kariman aw mut syahidan). Bagi mereka, perjuangan mengangkat senjata merupakan langkah utama dan paling utama dari segala-galanya.

Istilah jihad bagi kalangan non-Islam berkonotasi terhadap tindakan membabi buta dari orang-orang irrasional dan fanatik ang ingin memaksakan pandangan mereka kepada orang lain, akan tetapi, pemaksaan ini betul-betul tidak bisa dipertahankan, sebab al-Qur’an menyatakan, “Tidak ada paksaan dalam agama,”.

Dapat dikatakan, penaklukan negara-negara Arab yang luas pada hakikatnya bermuatan politis dan ideologis. Ummat Islam sendiri sangat toleran terhadap masyarakat yang plural. Sehingga ketegangan antara tirani-tirani tua itu menjadi terhenti. Agama Islam semata-mata menawarkan kepada orang-orang  di abad ketujuh dan kedelapan sebuah kehidupan yang lebih bebas, tentram dan damai, dari apa yang mereka alami pada masa sebelumnya.

Konsep Jihad dalam al-Qur’an

Komposisi huruf jim ha dal merupakan bentuk dasar yang menunjukkan kesulitan yang berasal dari pengupayaan kekuatan dalam sebuah urusan dari berbagai urusan, bisa juga dibuat pengertian yang mendekati makna itu.

Dari segi bahasa, kata Jihad berasal dari bahasa Arab, bentuk isim masdar dari fi’il, jahada artinya mencurahkan kemampuan. Kemudian kamus al-Munjid fillughah wal-a’lam menyebutkan lafal jahada al-‘aduwwa, artinya qatalahu muhamatan ‘an ad-din yang artinya menyerang musuh dalam rangka membela agama. Al-jahdu juga bermakna kesungguhan dan upaya terakhir, seperti dalam firman Allah “Dan mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan….” (Al-An’am ayat 109).

Makna kata al-Jahdu dan al-jihad menurut kitab Lisanul’Arab juz 1 halaman 521 yang ditulis oleh Ibnu Mandzur diartikan sebagai melawan musuh, pengerahan segenap kemampuan manusia untuk mendapatkan yang diinginkan atau menolah yang dibenci.

Sementara dalam kamus al-Munnawir yang ditulis oleh Ahmad Warson Munawwir, Jogjakarta, memberikan suatu pengertian bahwa lafal jihad sebagai suatu kegiatan yang mencuragkan segala kemampuan. Dan apabila dirangkai dengan lafal fii sabilillah, maka diartikan sebagai berjuang atau berjihad atau berperang di jalan Allah.

Bila ditarik ke jaman dahulu, penduduk Hijaz membaca jihad dengan al-juhdu, namun ada juga yang membaca al-jahdu. Keduanya memiliki arti yang berbeda. Al-juhdu diartikan kekuatan, sedangkan al-jahdu yaitu kesulitan.

Kata jihad merupakan masdar dari jahada, semisal dikatakan, Jahada fulaanun ‘aduwwahu artinya si fulan melawan musuhnya dengan mengerahkan usaha atau diartikan masing-masing mengeluarkan usaha atau kekuatan untuk menolak lawannya.

Komposisi huruf jim ha’ dal sebagaimana yang ada, menunjukkan kepada pengertian usaha yang keras dan sungguh-sungguh. Jadi, al-juhdu atau al-jahdu dapat diartikan pencurahan kemampuan untuk menentang sesuatu yang lain. Maka dalam syari’at kata ini diartikan sebagai memerangi orang dari kalangan kafir harbi dan lainnya.

Sedangkan pengertian jihad dalam al-Qur’an dapat dibagi menjadi beberapa bagian menurut pertimbangan alat yang digunakan seperti,

Jihad dengan diri sendiri,

Caranya dengan ikut secara langsung berperang dengan mengusung bendera kebenaran guna menghancurkan kebatilan. Hal itu dikarenakan untuk mengikuti perintah Allah dengan berharap pahala dan jaminan syurga serta guna menjaga eksistensi kaum muslimin.

Jihad dengan harta

Caranya, dengan mengeluarkan harta di jalan Allah, seperti zakat, infak, shadaqoh, membantu kaum fakir miskin, memelihara anak-anak yatim piatu dan membantu kaum muslimin dalam peperangan dengan mempertahankan hak-haknya.

Jihad dengan lisan

Caranya, dengan menyampaikan perkataan yang benar, perkataan yang bisa mendatangkan kemaslahatan bagi kaum muslimin. Kesimpulannya berdakwah secara santun di jalan Allah baik kepada sesama kaum muslimin ataupun kepada para penentang Allah untuk mengajak mereka kembali ke jalan Allah. Hal itu dapat dikatakan sebagai jalan amar ma’ruf nahii munkar.

Tentang tiga hal diatas, bisa dilihat dalam Firman Allah, “Berangkatkan kamu, baik dalam keadaan merasa ringan ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu pada jalan Allah,” (QS At Taubah ayat 41)

Terkadang proses peralihan itu terjadi dengan pertukaran kepada birokrasi ketuhanan, keagamaan dan pelayanan pendidikan ummat Islam. Secara historis, terutama di Asia Tenggara, Islam tampak menekankan pada sikap kontinuitas (membiarkan kelestarian budaya lain hidup dan berkembang) daripada bersikap konfrontasi dengan budaya-budaya.

Lalu apa makna jihad itu sendiri? Tergantung dari sudut mana kita memandangnya. Seperti diuraikan diatas, kaum Khawarij bahkan menjadikan jihad sebagai rukun Islam kelima. Dan diantara mazhab fiqh, kaum Khawarij memaksakan kehendak kepada komunitas muslim yang lain atas nama idealisme transenden dan ekstrim.

Mereka bersikukuh bahwa Nabi Muhammad SAW menghabiskan hidupnya dalam peperangan, maka orang-orang yang beriman harus mengikuti teladannya, sehingga negara Islam harus mengatur keyakinan seperti itu atau terkena tajamnya pedang.

Lantas seperti apakah jihad menurut Az-Zamakhsari dalam kitab Tafsir Al-Kasysyaf? Siapakah Az-Zamakhsari itu? Seperti apa penafsiran, metode dan sistematika tafsir a;-Kasysyaf?

Semuanya dikupas tuntas dalam buku Bagaimana Saya Berjihad karya Ust. H. Agus Handoko, M.Phill. sosok Ustadz muda jebolan Pondok Pesantren Darul Rahman, Jakarta berhasil menyelesaikan pendidikan S2-nya di Program Master Bidang Tafsir pada International Islamic University of Islamabad, Pakistan.

Kontak penulis di: gushan_jic@yahoo.co.id

peresensi Hans Wijaya

  • Bagikan