Sebagai sistem kepercayaan, agama hanya mempunyai kapasitas mengajak. Ada dua pilihan ketika seseorang diajak oleh agama “mempercayai” atau “mengingkari”.
Secara personal, tidak ada konsekuensi logis bagi mereka yang mengingkarinya, namun bagi mereka yang meyakininya (telah sukarela menjadi penganutnya), maka ada tuntunan yang harus dijaga dan disemarakan, khususnya esensi dari nilai-nilai agama itu sendiri. Agama tidak memuat unsur paksaan, melainkan agama memuat batasan-batasan nilai, norma, aturan, dan konsep sebagai realisasi keimanan seseorang.
Agama dalam catatan Karen Armstrong, “akhir abad ke-20, agama akan menjadi kekuatan yang harus dipertimbangkan. Dewasa ini, kita tengah dipertontonkan kebangkitan agama yang menyebar luas, padahal sebelumnya kisaran tahun 1950 dan 60-an oleh banyak orang, khususnya kaum sekuler cenderung menganggap agama sebagai takhayul primitif yang ditumbuh-kembangkan oleh manusia rasional dan beradab. Ada juga yang memprediksi kematian agama sudah di depan mata. Sedangkan prediksi terbaik pada saat itu, agama hanya akan menjadi aktifits privat dan marginal, yang tidak lagi dapat mempengaruhi peristiwa-peristiwa dunia.”
Sekarang ini, kembangkitan agama dipertanyakan kembali, agama yang seharusnya konsisten mengusung misi perdamaian, terlihat lebih lihai menebarkan konflik. Walaupun jumlah antara kedamaian dan konflik, lebih dominan situasi damai. Hanya saja, ketika konflik meletus atas nama agama sulit untuk dilerai, pasti berkepanjangan, dan efeknya menyebar kemana-mana.
Munculnya penganut paham radikal atau biasa dikenal juga dengan fundamentalisme merupakan salah satu bagian penyulut api konflik tersebut. Karen Amstrong berpendapat fundamentalisme adalah suatu bentuk keimanan yang bersifat sangat politis, dan sebagian orang melihatnya sebagai bahaya yang mengancam dunia dan kedamaian sipil.
Lanjutnya, fundamentalisme muncul ke permukaan di kebanyakan agama dan menjadi respon mendunia atas ketegangan kehidupan di akhir abad ke-20. Hindu radikal turun ke jalan-jalan untuk membela sistem kasta dan menentang Muslim India; kaum fundamentalisme Yahudi melakukan penghunian ilegal di Tepi barat dan Jalur Gaza serta bersumpah untuk mengusir semua orang Arab dari Tanah Suci mereka; Moral Majority yang dipimpin Jerry Falwell dan Chrsitian Right, yang menganggap Uni Soviet sebagai kerajaan setan, mencapai kekuatan yang hebat di Amerika Serikat selama tahun 1980-an. (Karen Armstrong: 2001). Selain itu, ada laskar ISIS yang mengusik kedamaian Aleppo.
Baru-baru inikonflik atas nama agama muncul kembali, belum habis berita Israel dan Palestina, menyusul gejolak yang sedang terjadi di Myanmar, di manaumat Islam Rohingya diberangus oleh kelompok Budha Ortodok (katanya). Ini adalah tragedi kemanusiaan yang “parah”. Namun, situasi yang terjadi sekarang di Myanmar kalau kita kaji secara mendalam, seperti yang di tuliskan dalam pernyataan GP Ansor di NU Online (judul berita: Ini Pernyataan Sikap GP Ansor Terkait Nasib Rohingya, Arakan, Rakhine, Myanmar) sangat menarik.
GP Ansor dalam pernyataannya, atas dasar laporan UN Office of the High Commissioner for Human Rights (OHCHR) – 2017peristiwa kemanusiaan keji di Myanmar semenjak tahun 2013, 2016, dan menguat di tahun 2017 syarat dengan konflik geopolitik, ada tiga hal yang saya garis bawahi;
Pertama, konflik geopolitik di dasari atas pertarungan kuasa dan kekuasaan (yang tidak seimbang), di daerah Arakan-Rakhine, yang dihuni mayoritas etnis Rohingya, dengan dugaan kuat ada perebutan paksa tanah dan sumber daya, khususnya minyak dan gas (di wilayah-wilayah sekitar).
Kedua, daerah tersebut dilaporkan memiliki cadangan sebesar 1,774 triliun kaki kubik gas dan 1,569 Barel minyak, yang beberapa blok diantara jatuh tempo pada tahun 2017. GP Ansor menyatakan, fenomena minyak dan gas atau kutukan sumber daya, tidak hanya terjadi di Myanmar tetapi juga terjadi di belahan dunia yang lain. Di mana untuk menutup operasi apropriasi sumber daya. GP Ansor menyebutkan operator-operator di lapangan melakukan dengan cara menjijikan, dibungkus dengan konflik antar etnis, antar agama, antar kelompok masyarakat dengan tujuan agar akar masalahnya menjadi kabur.
Ketiga, Menurut GP Ansor saudara-saudara kita di Rohingya sudah menjadi sasaran khusus dengan operasi terselubung (covered operation) apropriasi kapital dan sumber daya secara biadab dan terencana menyasar praktik serta simbol agama. Membenturkan antar umat beragama termasuk dengan cara membakar al-Qur’an, pemerkosaan di Masjid, mempersenjatai dan memprovokasi warga untuk juga melakukan persekusi terhadap minoritas Rohingya.
GP Ansor juga mencermati, tragedi kemanusian ini karena situaasi dimana pemeluk agama mayoritas yang sebenarnya moderat memilih diam dan bukan membantu melawan saat terjadi persekusi terhadap kaum minoritas. GP Ansor dengan tegas menyatakan, Aung San Suu Kyi, sang penerima Nobel Perdamaian, hanyalah contoh paling memuakan dari diamnya mayoritas. (untuk lebih jelas, bisa membacanya langsung link di atas).
Di lihat dari analisis panjang tersebut, pembantain keji di Rohingya memang layak untuk dikutuk sebagai bentuk kebiadan sejarah umat manusia. Logikanya, kita tidak harus memakai agama untuk mengutuk ini, sisi kemanusiaan kita pun sudah tergugah, bahwa ini adalah tindakan yang sangat tidak manusiawi.
Khusus mengenai peristiwa Rohingya tersebut, dalam menanggapi hal ini, mungkin yang paling bijak adalah mencoba menyaring seluruh berita, dan menganalisis sebenarnya apa yang terjadi di Rohingya, karena ini bukanlah perseteruan antar kampung. Siapa saja mungkin bisa ikut campur secara lapangan.
Tentu kita tidak bisa diam, karena ini adalah peristiwa kemanusiaan paling parah di Asia Tenggara. Namun, untuk menyelesaikan masalah konflik, hubungannya bukanlah kirim militer dan kemudian berperang, melainkan ada pendekatan yang dilakukan antar negara, berdiplomasi, mengurai konflik, dan Indonesia dalam hal ini telah melakukan tindakan tersebut, bekerja sama dengan 11 Ormas, salah satunya Nadhlatul Ulama (NU) untuk membentuk aliansi kemanusiaan, dengan fokus pada bantuan kesehatan, makanan dan perlindungan. Sekarang telah akan mengglontorkan bantuan senilai 24 Miliar untuk warga Rakhine di Myanmar dan Ormas NU dan 11 Ormas lainnya melakukan pemberdayaan terhadap warga di Rakhine.
Dengan demikian, memanjatkan doa, dan terus mendukung serta memberi masukan terhadap pemerintah atas peristiwa ini adalah hal yang paling bijak, tidak lantas melampiaskan kemarahan kita, khususnya dilatarbelakangi sentimen keagamaan, dengan menggugat salah satu agama di Indonesia, karena dianggap sebagai agama tertuduh dalam konflik di Myanmar. Mari kita urai sekarng, bagaimana agama-agama dunia, khususnya Islam dalam menyikapi berbagai perbedaannya.
Agama dan sikap kemanusiaan
Berpijak dari hal-hal di atas, agama dalam praksisnya (oleh oknum-oknum tertentu), menjadi alat pertentangan yang strategis, ia dijadikan sebagai alat penindasan. Apalagi jika agama sudah bercampur dengan aktivitas politik arogan. Rumusannya begini, begitu agama diformalkan, baik dalam bentuk pelembagaan doktrin ataupun lainnya, dengan tujuan kepentingan-kepentingan kelompok, baik kepentingan “suara Tuhan” sebagai suara kekuasaan, maupun berbagai kepentingan lain yang memanfaatkan agama, maka agama tidak lagi murni sebagai gerakan persaudaran, perdamaian, dan keselarasan. Melainkan sebagai topeng surgawi semata.
Pada tataran berhubungan dengan Tuhan, antar semua agama tidaklah ada pertentangan, apalagi konflik yang mengakar, wilayah keTuhan hanya melahirkan perdebatan teologis semata. Konflik terlahir dari mulut manusia yang mengatasnamakan sebagai pembela Tuhan demi keteraturan dunia.
Akhirnya, dunia ini seakan-akan menjadi tunggal, kalau tidak sesuai dengannya maka akan salah. Lebih parah lagi, jika agama ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan duniawi. Seperti yang dikatakan Sidney Hook, perbedaan antar-agama tidak terletak pada “nilainya”, tetapi lebih pada “kosmologinya”.
Seperti halnya ilustrasi, memakan daging anjing bagi umat agama tertentu adalah haram, bagi satu umat agama lainnya hal yang biasa. Ini sama saja kita dengan membandingan antara satu merek mobil A dengan mobil B, yang jelas-jelas pabrikan dan buku panduannya berbeda. Itu bukanlah substansi yang harus kita perdebatkan, karena kebenaran esensinya antara mobil A dan mobil B, mempunyai tujuan yang sama, yakni “keselamatan dalam berkendara”. Artinya, yang kita cari adalah keamanan dan perdamaian.
Bukan berarti dalam hal ini kita menyamaratakan agama, melainkan sebagai pijakan paradigma kita dalam berpikir, untuk meminimalisir konflik. bahwa sesungguhnya Tuhan menghendaki perbedaan, seperti halnya apa yang pernah di tuliskan oleh Muhammad Afiq Zahara dalam opininya di NU Online (Terorisme Jihad), “Diversitas, kemajemukan dan kebhinekaan merupakan ketetapan dan fitrah kehidupan. Tuhan sendiri tidak menghendaki menciptakan umat yang satu”, seperti firmanNya (Q.S. Hud [11]: 118: “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih pendapat.”
Komarudin Hidayat, dalam tulisannya “Agama-agama Besar Dunia: Masalah Perkembangan dan Interelasi”, menyatakan, “Suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah (truism) bahwa bumi ini hanya satu, sementara penghuninya terkotak-kotak ke dalam berbagai suku, ras, bangsa, profesi, kultural dan agama. Membayangkan bahwa dalam kehidupan ini hanya terdapat satu agama, rasanya hanya ilusi belaka.”
Untuk menjaga masa depan kemanusiaan, yang perlu ditanamkan adalah sebuah paradigma berpikir yang utuh mengenai sebuah ajaran, kita tidak bisa larut dalam pemahaman segregatif, di mana klaim kebenaran menjadi mutlak dalam setiap agama. Padahal, esensi dari beragama bukanlah mencari “kebenaran” untuk “menyalahkan”, melainkan kebenaran itu difungsikan sebagai jalan perdamain dan menebarkan kasih sayang. Karena ketika orang merasa benar, maka di situlah ia menjadi salah.
Agama jika dipahami secara mendalam dan komperhensif akan melahirkan sifat humanis, toleran dan menghormati orang lain. Dengan demikian, yang dibangun tidak hanya pemahaman kemajemukan semata, melainkan pemahaman yang sesuai dengan konteks kekinian, tentu diambil dari ajaran agama yang utuh. Dalam Islam sendiri kita diajarkan oleh Allah sebuah penghormatan yang besar untuk menghormati yang lain dari kita, “tidak ada paksaan dalam beragama…”, “untukmulah agammu, dan untukkulah agamaku..”, “kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu: Maka barangsiapa yang ingin beriman hendaklah berimanlah”.
Di lihat dari penggalan pesan-pesan Allah SWT tersebut, Allah mengajarkan kepada kita bahwa prinsip beragama harus merupakan sebuah pilihan bukan paksaan. Karena dasar dari keimanan selain keTuhanan adalah kemanusiaan. Dan agama menolak kekerasan sebagai prinsip sebuah tindakan. Kekerasan merupakan tindakan amoral. Moralitas agama adalah kesadaran, kesalehan, yang selalu mendorong pemeluknya untuk akrab satu sama lain.
Dan jangan dipahami keliru, pluralisme, saling menghormati dan berdampingan dengan agama lain, lantas kita mencampuradukan ajaran-ajaran agama tersebut, saya katakan, “tidak”. Karena tentu takarannya tidak akan sama. Pastinya adalah, keyakinan kita (keimanan) terhadap Allah SWT harus terus disemarakan untuk membangun sebuah sistem berketuhanan yang mampu menajawab persoalan-persoalan kemanusiaan. Agar masa depan kemanusiaan, yang dilatarbelakangi oleh misi agama yaitu perdamaian bisa terselenggara dengan baik.
Saya tutup tulisan ini dari perkataan seorang atheis, Friedrich Nietzche, “Hidup ini hanya masalah selera”. Agama adalah pilihan selera makan, tujuan makan adalah rasa kenyang, pepatah Jawa mengatakan, “Weteng ngelih pikiran ngalih, weteng wareg pikiran jejeg”. Jadi, beragama dengan memahami segala aspeknya—mutlak sebagai gizi kehidupan kita, sehat jasmani dan rohani.
Penulis : Aswab Mahasin – Dewan Pengasuh Pondok Pesantren Darussa’adah Kebumen, Jawa Tengah.
Sumber : NU Online