Charlie Chaplin, Cibatu dan Keindahan Parahiyangan 

  • Bagikan

​BERITA9, JAKARTA – Sengaja memilih menaikkereta Ekonomi. Serayu pagi. Demikian nama kereta api No.141 jurusan Kroya-Jakarta. Reservasi dua hari sebelum keberangkatan di stasiun Cibatu ternyata tiket sudah habis sejak satu minggu sebelumnya. Akhirnya sepakat. Membeli tiket Kiaracondong-Jakarta. Tetapi naik dari stasiun Cibatu Garut, baru mendapat tempat duduk di stasiun Kiaracondong, Bandung. Logika ini juga rancu dalam tata kelola penumpang kereta api.

Stasiun Cibatu berada 612 diatas permukaan laut, diapit gugusan bukit hijau dan hamparan sawah serta perkebunan nan molek. Stasiun yang di buat pada jaman kolonialis itu terlihat masih kokoh. Namun gersang, kumuh tanpa sentuhan keindahan.

Bupati Garut, terutama Dinas Pariwisata dan PT KAI harus menyadari bahwa stasiun Cibatu yang berada di Kecamatan Cibatu merupakan pintu gerbang Garut dari jalur kereta api. Siapapun yang akan masuk kabupaten Garut menggunakan transportasi kereta api, untuk urusan pulang kampung, perniagaan, pariwisata baik domestik dan mancanegara pastilah melalui Garut timur.  Tepatnya kecamatan Cibatu. Jangan dilupakan komedian legendaris Charlie Chaplin pada tahun 1927 pernah menjejakan kakinya di stasiun Cibatu, saat itu Charlie Chaplin bersama artis Mary Pickford sedang dalam perjalanan liburan ke Garut.

Charlie di Garut

Kisah kunjungan Chaplin ke Garut itu secara turun-menurun hidup dan tertanam di benak warga Garut. Antara lain menurun kepada Franz Limiart (47), warga Garut yang aktif sebagai pemerhati sejarah dan pelaku ekonomi kreatif Garut.

Komedian film bisu itu benar-benar menampakkan batang hidungnya tanpa riasan di Stasiun Garut Kota. Wajahnya tidak berhiaskan kumis petak. Ia tidak memakai jas sempit dan celana kedodoran. Topi tinggi warna hitam andalannya pun tidak ia bawa. Siang itu, ia berjas dan berdasi rapi dengan penutup kepala mirip yang lazim digunakan mandor perkebunan.

Hotel Grand Ngamplang adalah salah satu bukti bahwa Garut sudah menjadi idola wisatawan tempo dulu. Bersama Hotel Papandayan, Villa Dolce, Hotel Belvedere, Hotel Van Hengel, Hotel Bagendit, Villa Pautine, keberadaan Grand Ngamplang membuat Garut dikenal sebagai pionir resor wisata Hindia Belanda.

Wilayah Kecamatan Cibatu Letaknya secara geograpis sangat strategis. Akses dan infrastruktur jalan menuju kota Garut sangat baik, juga menuju pusat parawisatanya misalnya ke Cipanas membutuhkan waktu 30 menit dan kearah taman rekreasi kawah Darajat tidak lebih satu jam. Sedang dari stasiun Cibatu menuju wisata pantai dan gugusan bukit dan pegunungan garut selatan berjarak 84 Km. Jangan di lewatkan juga Wisata situs Candi Cangkuang dan Situ Bagendit hanya tetangga kecamatan.

Oke, kita kembali pada ‘sejarah’ perjalanan saya dengan kereta api ‘peninggalan’ Chaplin, satu jam sebelum boarding saya sudah sampai di stasiun Cibatu, gersang agak kumuh. Ruangan tunggu memang agak lebih baik, bersih dan tertata apik,  memang tidak asri, tetapi tetap saja jauh lebih nyaman  ketimbang tiga tahun lalu yang pengap, kotor dan bau.

Sepuluh menit setelah boarding KA no 141 dari Kroya memasuki stasiun Cibatu, para petugas serta security alias satpam dengan sigap menempatkan diri pada setiap pintu gerbong untuk memberi pelayanan kepada calon penumpang. Gerbong Kereta Api Ekonomi tanpa pendingin kecuali blower, memang resik dan cukup nyaman tanpa pedagang asongan yang biasanya memadati kereta api ekonomi, tidak seperti umumnya kereta api ekonomi beberapa tahun lalu, mungkin ini yang dimaksud menata transportasi kereta api.

Tepat pukul 12.30, sesuai dengan jadwal gerbong kereta berderit kemudian perlahan meninggalkan Stasiun Cibatu. Hanya Lima menit setelah  meninggalkan stasiun Cibatu. Kereta Api berjalan tidak terlalau cepat. Keindahan alam Priangan pun menyergap pandangan mata.

Nampak dari sisi kiri kanan jendela gerbong, gugusan Pegunungan dan bebukitan serta rerimbunan hutan, diselingi hamparan pesawahan dan kebun yang tertata dengan teras siring, keindahan itu menjadi lengkap  dengan  semilir angin sejuk yang masuk melalui kaca jendela. Memang sejak meninggalkan stasiun Cibatu sengaja sedikit di buka untuk mendapatkan udara dari luar gerbong. Itu semua merupakan karunia Tuhan untuk alam priangan.

Hampir dua jam perjalanan dengan kereta ekonomi tanpa di ganggu pedagang asongan, kecuali sesekali pramugara menawarkan Kopi dan Soft drink, tentu bukan bagian dari servis pelayanan. Kopi dan softdrink yang ditawarkan harus dibayar. Menyusuri lekuk dan liukan alam priangan yang dalam sekali tempo diselimuti kabut dan tak jarang pula posisi kereta bertengger merayapi ketinggian bukit yang kiri kanan merupakan jurang.

Sungguh  sebuah perjalanan yang eksotik. Pantas saja perjalanan kereta api menuju garut dengan destinasi stasiun Cibatu menjadi agenda dan impian orang Eropa ketika berada di Indonesia, hingga komedian besar dunia Charlie Chaplin dan Artis sekelas Mary Pickford menyempatkan untuk berkereta api ke Garut.

Karunia Tuhan telah kureguk sepanjang perjalanan sejak di Cibatu, Leuwigoong, Lebakjero hingga Nagrek. Alam Priangan sungguh menggoda dan tetap jelita. Namun selepas Nagrek udara pengap  menyeruak dan menyesakan dada. Seperti di komando para penumpang membuka kisi jendela gerbong agak menga-nga, untuk mendapatkan udara lebih banyak dari luar gerbong kereta. Sementara dari balik jendela yang Nampak melulu dataran tinggi yang gundul kecoklatan.

Ditengah bentangan kebun serta persawahan yang merana, antara Majalaya dan Rancaekek  tersembul banyak areal hunian baru dibangun developer. Lantas manakala memasuki stasiun Kiaracondong dapat diungkapkan dengan Syair Lagu yang di buat Leo Kristi Duapuluh Lima tahun silam. ‘’…Lewat Kiaracondong, kereta laju, panorama disana memaksaku tersenyam, bocah-bocah tak berbaju berlari-lari di sepanjang Rel.

Didetak Roda yang kelima Bergerombol bocah-bocah…..’’ dan saat ini Kiaracondong masih seperti dalam lirik itu. Yang berubah stasiun Kiaracondong kini sudah tertata bersih rapih dan resik tanpa pedagang asongan. Kereta pun meninggalkan Kiaracondong dan aku mendapatkan site dengan  nomor tempat duduk seperti tertera pada tiket.

Perjalanan satu jam ke stasiun Padalarang dengan menyusuri himpitan gedung, pertokoan dan perkampungan kumuh. Tak terbilang berapa kali melintasi jalan raya dengan pemandangan melelahkan, kemacetan kendaraan roda dua, bis, truk dan angkot, sementara kereta yang kutumpangi terseok seok, lelah, pengap dan membosankan.

Selepas stasiun Padalarang, Aku menarik napas lega, tertidur pulas. Antara tidur dan terjaga sepertinya derit roda kereta agak tertahan lalu perlahan  berhenti. Oh kiranya telah sampai Stasiun Purwakarta. Sontak, entah siapa yang mengomando puluhan pedagang asongan menggeruduk setiap gerbong kereta sembari menjajakan dagangan nya. Olala…

Sampai kereta meninggalkan Purwakarta  melaju ke Kawarang, Cikarang, Bekasi dan aku turun di stasiun Jatinegara. Para pedagang masih memadati gerbong kereta dan menyembunyikan barang dagangan di bawah kursi penumpang ketika sekuriti dan Kondektur kereta api memeriksa tiket setiap penumpang. Kucing-kucingan kah atau tahu sama tahu antara pengasong dan petugas. Hallo PT KAI bagaimana niih…(red)

Penulis : Nurasiah, Guru PAUD Kostarea Garut

Kereta tua peninggalan kolonial di stasiun Cibatu l, Jawa Barat (foto dok)
  • Bagikan