Revisi RUU KUHP Ancam Kebebasan Pers, DPR Membantah

  • Bagikan

BERITA9, JAKARTA – Menjelang masa penutupan masa persidangan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama pemerintah akan merampungkan beberapa rancangan undang-undang yang menjadi skala prioritas, salah satu di antaranya adalah revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Sayangnya, niat merevisi itu dianggap sebagai sebuah ancaman bagi kemerdekaan pers tanah air.

Anggota Dewan Pers Jimmy Silalahi mengatakan, setidaknya ada 16 ancaman dalam revisi KUHPidana itu berpotensi memberangus kebebasan berpendapat dan jurnalis.

Jimmy melanjutkan, di antaranya tentang ancaman pidana kepada pembuat berita atau penyebar informasi yang kemudian dinilai tidak sesuai dengan fakta. Jimmy mengatakan bisa saja media atau wartawan melakukan kesalahan dalam menjalankan tugasnya, tetapi sangat tidak benar jika dikenakan pidana berdasarkan KUHPidana itu, karena saat ini sudah ada Undang-undang Pers yang bisa dijadikan landasan. Undang-undang Pers secara tegas merujuk Dewan Pers untuk menilai sebuah produk jurnalistik adalah pelanggaran pidana atau kode etik.

Jika niat DPR ingin meminta pertanggungjawaban pengguna media sosial yang menyebarkan berita bohong atau menyebarkan ujaran kebencian maka Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) bisa digunakan.

Pemberitaan terhadap proses persidangan lanjutnya juga rentan ancaman penjara jika menafsirkan pasal 306 huruf d di revisi KUHP sebagai gangguan pada pengambilan vonis oleh hakim. Menurutnya ancaman lainnya dalam revisi tersebut adalah soal pemberangusan sistem kritik terhadap presiden, wakil presiden dan pemerintah. Produk jurnalistik bisa dikategorikan penghinaan terhadap pemimpin negara atau pemerintah tanpa adanya tolak ukur yang jelas.

“Akhirnya susah melakukan tugas investigasi jurnalis dengan kritik, hate speech atau penghinaan ,akhirnya menjadi beda-beda sedikit dengan adanya R-KUHP tersebut. Asumsi hukumnya akan dianggap sama. Jadi susah misalnya ketika anda melakukan kritik terhadap presiden kemudian menuangkan dalam sebuah redaksional, itu sebenarnya sah-sah saja dalam era demokrasi seperti sekarang apalagi kita bukan negara otoriter tapi kan lucu masa negara demokrasi R-KUHP seperti negara otoritarian.” ungkapnya.

Dewan pers dalam waktu dekat akan menyampaikan masukan tertulis kepada Panitia Kerja Revisi KUHP DPR agar aturan tersebut tidak boleh menabrak kebebasan pers.

Selain itu, jika nanti DPR dan pemerintah tetap memasukkan pasal-pasal yang mengancam kebebasan berekspresi, berpendapat dan memasung pers, maka Dewan pers akan melakukan peninjauan kembali terhadap undang-undang tersebut ke Mahkamah Konstitusi.

“Kalau check and balances benar-benar timpang karena adanya ancaman seperti ini dan nanti semua pekerja pers akan takut-takut dalam berekspresi, dalam menghasilkan produk jurnalistik yang berkualitas. Tentu saja ini akan menimbulkan pergolakan, perlawanan akhirnya kita kayak sepeti zaman orde baru,” tambah Jimmy.

Sementara itu, anggota Panja R-KUHP Arsul Sani mengatakan, DPR tidak pernah berniat sama sekali untuk membungkam kebebasan pers. Parlemen membebasaskan pers untuk mengkritik parlemen dan pemerintah selama kritik itu sesuai dengan kaidah jurnalistik.

“Ajukan saja ke komisi III (untuk gelar) rapat dengar pendapat, tetapi (saat RDPU) jangan dalam bentuk perspektif atau wacana dan jangan memposisikan diri, kami tidak mau ada pasal ini, jangan seperti itu. Yang dipergunakan adalah ‘pak kalau pasalnya seperti itu kami terancam oleh karena itu kami usulkan alternatif seperti ini’, gitu. Kami terima,” ujar Sekjen DPP PPP itu. (red)

  • Bagikan