“Tidak penting apa Agama atau sukumu. Kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang. Orang tidak akan pernah tanya apa Agamamu,” (Gus Dur)
Penulis : Hans Wijaya – Pemimpin Redaksi BERITA9 (Sindikasi)
Petuah almarhum Almaghfullah KH. Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur, pasti sangat terpatri dalam setiap diri warga Nahdliyin khususnya dan para pemuja kebenaran pada umumnya. Jargon lain yang selalu diucapkan Gus Dur bahwa kita harus berdiri diatas semua golongan dan membela kebenaran, sudah disepakati secara alamiah oleh hampir semua warga Nahdliyin di Nusantara.
Nasehat Gus Dur itu tentunya memiliki alasan dan dasar yang sangat kuat. Salah satunya yang diyakini Gus Dur dan semua pemeluk Islam di Nusantara, yakni sistem pemerintahan yang dilakukan Rasulullah Muhammad SAW saat memimpin Kota Madinah Al Munnawarroh.
Muhammad SAW memimpin kota suci itu dengan sistem demokrasi yang sangat baik. Semua pemeluk agama selain Islam mendapatkan perlindungan dan kesetaraan dalam semua bidang bernegara secara adil. Itu artinya, konsep pluralisme bukan menjadi barang baru bagi ummat Islam.
Dalam konteks kekinian, pluralisme berkembang mengikuti zaman. Konteksnya tidak lagi terpaku pada adab sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat. Tapi telah memasuki dunia politik praktis. Setidaknya pluralisme tidak hanya mendapat ruang dalam diskursus keagamaan, tapi akses bagi isu-isu sosial juga sangat mendesak khususnya wilayah demokrasi.
Mungkin perhatian orang masih kurang akan pentingnya menumbuhkan kesadaran perbedaan demokrasi, padahal salah satu instrumen yang ikut memapankan demokrasi adalah perbedaan itu sendiri. Fraseologinya, tak mungkin ada demokrasi tanpa perbedaan.
Intensitas proses demokratisasi di Indonesia, dilihat dari maraknya pendirian partai politik (parpol) sebagai salah satu instrumen demokrasi itu sendiri. Kemunculan parpol tentu dibarengi kehadiran personil yang mengisi ruang jabatan, baik secara struktural atau sekedar penggembira belaka.
Kader Oportunis
Memasuki kontestasi pemilihan umum legislatif (Pileg) pada semua tingkatan mulai kota, kabupaten, provinsi dan pusat, Parpol memegang peranan penting menentukan siapa dan dimana lokasi daerah pemilihan (dapil) seseorang ditempatkan sebagai calon legislatif (caleg). Peran penting itu tentu sepenuhnya ditangan ketua umum parpol disemua strata.
Saking pentingnya, tak heran banyak pihak yang berlomba-lomba berdekatan dengan sang ketua. Berbagai cara bisa saja ditempuh, mulai bercara penuh adab hingga pendekatan biadab. Tujuannya hanya satu, mendapat kepercayaan komandan partai.
Disinilah diperlukan kejelian mata batin pemimpin. Selain itu, kemampuan manajerial konflik pemimpin partai menentukan arah kebijakan partai itu sendiri.
Jika sang ketua berkuping tipis (meminjam istilah wartawan senior Indonesia almarhum Rosihan Anwar) alias mudah terpengaruh dengan ucapan seseorang hingga merubah arah kebijakan partai, maka dipastikan partai itu tidak akan berkembang. Pemimpin seharusnya tidak boleh berubah haluan hanya karena asupan kalimat dari orang-orang sekelilingnya tanpa dibarengi data akurat.
Pemimpin harus merasa yakin pada dirinya sendiri atas program kerja yang telah dibuat sesuai kesepakatan. Jika labil alias selalu galau, tidak yakin dengan dirinya dan keputusannya, bagaimana ia bisa berbuat banyak kepada rakyat.
Jikapun keputusan yang dia ambil berbeda dengan suara mayoritas,tapi berprinsip pada kebenaran dan keadilan yang diyakininya, itu merupakan sebuah keniscayaan. Namun sebaliknya, jika mengambil kebijakan hanya berdasarkan kemauan segelintir pihak, memuaskan hasrat sekelompok kecil dalam lingkarannya, maka ia sama saja telah menggali kuburnya sendiri. Keputusan harus diambil berdasarkan keyakinan kebenaran, bukan atas bisikan begundal politik pencari keuntungan semata.
Terlebih lagi, pada moment Pileg 2019 yang telah didepan mata, kelihaian manajerial ketua partai teramat sangat diperlukan. Dia harus jeli merekrut seseorang untuk ditempat pada posisi tertentu. Menjaring personil dijadikan sebagai caleg diharamkan berdasarkan like and dislike belaka. Atau hanya sekedar memenuhi kuota ketentuan caleg yang diatur dalam Undang Undang Pemilu Tahun 2018, lalu mengabaikan kualitas caleg itu sendiri.
Rekrutmen caleg dari berbagai unsur golongan masyarakat dengan mengindahkan sentimen agama tertentu, merupakan bentuk pluralisme nyata dalam kancah dunia politik. Kalaupun ada satu atau dua, partai politik lebih mengedepankan caleg hanya dari satu agama, itupun bukan bentuk pelanggaran konstitusional, namun setidaknya, partai tersebut telah mengurungkan diri pada ekslusifme bersentimen agama.
Lupakan dulu partai ekslusif, coba kita perhatikan dengan seksama deretan ribuan nama caleg yang bertebaran disemua parpol peserta Pemilu 2019. Ada banyak ragam latar belakang caleg, mulai dari pengusaha papan atas, penyanyi kawakan hingga artis pemain drama di televisi. Atau, ada juga caleg yang tidak memiliki background istimewa, sebut saja di Banyuwangi, ada (maaf) asisten rumah tangga yang ‘nekat’ nyaleg dengan jargon membela kepentingan kaum senasibnya.
Ada juga caleg yang hanya bermodal kecantikan dan kebolehannya berjoget erotis diatas panggung yang maju sebagai calon wakil rakyat dari satu partai lumayan besar. Atau coba lihat aksi beberapa orang yang merasa dirinya kesohor alias tenar, berpindah partai padahal ia sedang menduduki posisi sebagai anggota DPR RI. Alasannya mereka sederhana, partai baru lebih selaras dengan misi dan visi pribadinya, program kerja partai baru lebih bagus. Padahal……
Boleh saja para oportunis politik itu berargumen, mereka lupa, bahwa rakyat sudah lebih pintar mengartikan langkah pragmatis yang meteka lakukan. Rakyat sudah bisa menebak mendekati kebenaran alasan sesungguhnya mereka menjadi kutu loncat partai. Mereka, pemuja jabatan.
Pemimpin Dibodohi atau Memang Bodoh
Reformasi 1998 yang melahirkan ratusan partai politik sejatinya dimaknai sebagai berkah demokrasi. Seiring dengan waktu, eksistensi parpol terjadi secara alamiah. Parpol yang dilahirkan diatas pondasi kekuatan massa, program dan kader yang berjiwa militan dapat bertahan hingga kini. Namun sebaliknya, parpol yang dibentuk hanya keyakinan semu para pendirinya, cuman bertahan pada plang nama.
Salah satu kekuatan parpol ada pada rekrutmen pengurus dan anggota. Memilih dengan cermat setiap individu guna dijadikan alat perubahan dalam sistem pemerintahan, menjadi syarat mutlak. Tapi sebaliknya, jika rekrutmen itu ‘asal ada’ mengesampingkan kualitas personal pengurus atau anggota, maka bersiaplah parpol tidak akan bertahan lama.
Kebanyakan yang terjadi adalah, petinggi partai lebih suka memasukkan orang-orang terdekatnya menduduki jabatan strategis seperti menjadi caleg utama dengan nomor urut ‘jadi’ ketimbang berani merekrut personil yang memiliki kemampuan intelektualitas diatas rata-rata dan mampu memobilisasi massa dalam jumlah besar namun miskin logistik alias pas-pasan kantongnya.
Bersambung……