Telaah Kritis Penganggaran PAD Tahun 2017 di Kabupaten Nias Barat

  • Bagikan
Banner Kabupaten Nias Barat, Provinsi Sumatera Utara (foto scs redaksi)

Namun anehnya pada Perda Nomor 1 Tahun 2017 tentang APBD Tahun 2017 dan Perda Nomor 5 Tahun 2017 tentang APBD-P Tanun 2017 prinsip persetujuan bersama dikangkangi dalam Keputusan Bupati Nias Barat. Perhatikan beberapa fakta di bawah ini :

Penulis : Adrianus Aroziduhu Gulo – Mantan Bupati Nias Barat

Penetapan target Pendapatan Asli Daerah(PAD) sepatutnya tetap mengacu pada Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, sebagaimana telah diubah beberapa kali, terakhir dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor: 21 Tahun 2011, tentang Perubahan Kedua Permendagri Nomo:13 Tahun 2006, tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Darah, pasal 26 ayat (1) menyatakan:

”Kelompok pendapatan asli daerah dibagi menurut jenis pendapatan yang terdiri atas a.Pajak daerah b. Retribusi daerah c. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Sedangkan pada ayat 26 ayat (2,3 dan 4) merupakan penjelasan dari huruf a,b,c di atas.

Dalam penetapan target PAD harus berdasarkan kondisi ril daerah, penuh kehati-hatian, cermat agar tidak berdampak negatif pada penganggaran belanja APBD. Sumbernya harus jelas dan terukur. Namun penetapan PAD Tahun 2017 oleh Pemkab Nias Barat, diduga tidak cermat, tidak hati-hati dan tidak jelas sumbernya serta tidak terukur.

Dampaknya APBD tahun 2017 defisit dan banyak proyek yang sudah selesai dikerjakan rekanan belum dibayar. Sebagaimana diberitakan SIB tanggal 12 Juli 2018 dengan judul “Proyek Dua Tahun Lalu Belum Dibayar, Rekanan Sebut Pemkab Nias Barat Pembohong” dan berita SIB tanggal 15 Juli 2018 dengan judul “Soal Pemkab Nias Barat Belum Bayar Dana Rekanan Dua Tahun Lalu, Tokoh Masyarakat Sarankan Lapor Penegak Hukum.

Penetapan PAD Tidak Terukur

Target PAD pada APBD tahun 2017, kenaikannya sangat signifikan. Pemkab Nias Barat menganggarkan PAD pada APBD 12017(Induk) sebesar Rp. 28.740.000.000,00. Kemudian pada APBD-P Tahun 2017 yang ditetapkan pada bulan Oktober 2017 sebesar Rp. 93.762.795.224,00 atau naik signifikan 226,24 persen.

Kenaikan tesebut memaksa kita untuk bertanya sebagai berikut : Apa dasar Sekda selaku ketua TAPD dan Kepala BPKPAD menaikkan PAD sebesar itu? Apakah sudah dikaji sumber-sumber PAD sesuai pasal 26 Permendagri nomor 13 Tahun 2006 atau hanya asumsi belaka? Apakah TAPD tidak menyadari dan mengetahui bahwa dengan tidak tercapainya target PAD dapat memengaruhi stabilitas keuangan daerah?

Hal-hal seperti ini yang membuat masyarakat tidak habis pikir. Kenapa logika anggaran sebagaimana diatur dalam Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 pasal 17 ayat(2) menyatakan: “Pendapatan daerah sebagaimana diatur pada ayat(1) merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan” dan pasal 19 menyatakan :

”Dalam penyusunan APBD, penganggaran pengeluaran sebagaimana dimakksud pada pasal 18 ayat(1) harus didukung dengan adanya kepastian kesediaan penerimaan dalam jumlah yang cukup. Seyogyanya Sekretaris Daerah selaku ketua TAPD mempedomani peraturan tersebut. Apakah tidak tahu?

Tentu saja, masuk akal jika kita mengatakan bahwa tidak ada alasan Sekda tidak tahu, karena Sekda adalah kordinator pengelolaan keuangan daerah, sesuai Permendagri Nomor 13 Tahun 2016 pasal 6 ayat(1).

Bunyi kedua isi pasal tersebut di atas dapat dimaknai bahwa penganggaran pada APBD harus terukur dan rasional serta adanya kepastian ketersediaan penerimaan dalam jumlah yang cukup, termasuk didalamnya kepastian sumber-sumber PAD yang bisa terkumpul. PAD tidak boleh direkayasa sesuai selera TAPD dan Kepala BPKPAD untuk memenuhi aspirasi elit politik dan pendukung.

Untuk diketahui realisasi PAD tahun 2017 sebesar Rp. 36.239.996.547,90. Naik dua kali lipat dari PAD tahun 2016. Namun jangan merasa hebat dulu, karena dari jumlah di atas sebesar RP. 29.668.712.017,90 bersumber dari lain-lain PAD yang sah, seperti pengembalian : kelebihan bayar dari rekanan, honor dan SPPD yang tidak sesuai aturan, denda keterlambatan pekerjaan,dll. Sebenarnya PAD murni hanya sebesar Rp. 6.571.683.530 (lihat buku I LHP Keuangan Kabupaten Nias Barat Nomor: 61.A/LHP/XIII.MDN/o6/2018 Tanggal 4 Juli 2018 halaman 4). Itupun, dari 6 M tersebut sebagian besar bunga Bank Rekening Pemkab Nias Barat. Itu artinya PAD Nias Barat belum membanggakan.

Menurut penulis ketidak tercapainya target PAD, menyebabkan APBD tahun 2017 defisit. Tentu, proyek yang sumber dananya dari PAD tidak dapat dibayar. Timbul pertanyaan: Mengapa pimpinan OPD melelang proyek-proyek yang tidak jelas sumber dananya, termasuk didalamnya proyek yang sumbernya dari PAD ?

Mengapa pimpinan OPD tidak menanyakan kepada Kepala BPKPAD ketersediaan dana proyek? Ataukah pimpinan OPD terlalu bersemangat membangun Nias Barat sehingga menenderkan proyek yang belum jelas sumber dananya? Mungkinkah ada sesuatu yang diharapkan dalam tender proyek itu? Disinilah sumber semangat dan akhirnya memunculkan masalahnya.

Menyalahi Perda

Sebagaimana lazimnya perda itu ditetapkan dengan persetujuan bersama DPRD dan Kepala Daerah. Namun anehnya pada Perda Nomor 1 Tahun 2017 tentang APBD Tahun 2017 dan Perda Nomor 5 Tahun 2017 tentang APBD-P Tanun 2017 prinsip persetujuan bersama dikangkangi dalam Keputusan Bupati Nias Barat. Perhatikan beberapa fakta di bawah ini :

Pertama, pada Perda nomor 1 tahun 2017 tentang APBD tahun 2017, PAD ditetapkan target sebesar Rp. 28.740.000.000,oo. Kemudian APBD tahun 2017 dijabarkan dalam Peraturan Bupati Nomor: 14 Tahun 2017 tentang Penjabaran APBD tahun 2017 masih sebesar Rp.28.740.ooo.000. Akan tetapi pada Keputusan Bupati Nomor 973-150 tahun 2017 tentang Penjabaran APBD Tahun 2017 dirubah sepihak dan sangat menyolok menjadi sebesar Rp. 12.423.000,00 (Hal ini pun tidak lazim, semestinya peraturan Bupati dirubah dengan peraturan Bupati, bukan Keputusan Bupati) Mengapa ? Menurut penjelasan Kabid Anggaran BPKPAD kepada BPK saat audit mengatakan: ”Penetapan target PAD tersebut diterbitkan setelah penetapan APBD dan pergeseran APBD dikarenakan Bidang Anggaran dan Bidang Pendaftaran, Pendataan dan Penetapan belum saling berkoordinasi”.

Kemudian Kabid P3 serta Kabit PKP BPKPAD mengatakan bahwa mereka tidak dilibatkan dalam perumusan target PAD 2917.(Lihat buku II LHP Atas Sistem Pengendalian Intern Nomor: 61.B/LHP/XIII.MDN/06/2018 Tanggal 4 Juni 2018 halaman 26-27).

Kedua, pada Perda Nomor 5 Tahun 2017 tentang APBD-P menetapkan target PAD sebesar Rp. 93.762.795.224,00. Sedangkan dalam Keputusan Bupati Nomor: 973 Tahun 2017 tentang Penetapan Target Penerimaan PAD dan lain-lain PAD yang sah dalam APBD-P Kabupaten Nias Barat Tahun Anggaran 2017 tanggal 21 Desember 2017 sebesar Rp. 75.257.600,000,00, selisih sebesar 18.275.600.000,00 (Ini lagi tidak lazim, semestinya penjabaran APBD-P dengan Peraturan Bupati)

Berdasarkan penjelasan Kabid P3 kepada BPK mengatakan:” Belum pernah melakukan kajian untuk mengidentifikasi objek-objek yang berpotensi menjadi penerimaan daerah, dan belum pernah mengidentifikasi jenis-jenis pajak dan retribusi yang seharusnya dikeluarkan dari perda pajak dan retribusi daerah karena tidak layak,minus penerimaan dan bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi.( idem buku II halaman 27)

Apabila membaca secara mendalam perubahan target PAD dalam Keputusan Bupati, memperlihatkan kepada pembaca kondisi dan kemampuan koodinasi antar internal OPD, antar OPD, antar lembaga legislatif di Pemerintah Kabupaten Nias Barat, sebagai berikut :

Pertama, Bupati, Sekda selaku ketua TAPD dan Kepala BPKPAD telah menyalahi Perda Nomor 1 tentang APBD tahun 2017 dan Perda Nomor 5 Tahun 2017 tentang APBD-P dengan mengubah besaran PAD melalui keputusan Bupati Nias Barat, tanpa sepengetahuan lembaga legislatif sebagai mitra kerja sejajar. Semestinya Keputusan Bupati hanya bersifat penjabaran dengan tidak merubah besaran yang ada dalam APBD.

Kedua, penjelasan Kabid P3 dan Kabid PKP kepada BPK RI Perwakilan Sumatera utara saat audit, tidak rasional dan berkelas, justru menunjukan ketidak mampuan mereka berkoordinasi secara internal antar bidang pada BPKPAD. Sebab Bidang Pendapatan Daerah berada pada organisasi BPKPAD. Kalau antar bidang pada BPKPAD saja tidak mampu berkoodinasi, bagaimana mereka bisa berkoodinasi dengan lintas sektoral?

Ketiga, dengan adanya Bidang Pendapatan Daerah dalam organisasi BPKPAD, maka yang mengusulkan target PAD adalah Kepala BPKPAD dengan persetujuan Bupati dan ketua TAPD, bukan OPD lain dan bukan sesuka hati DPRD. Lalu, kenapa besarannya dirubah dalam Keputusan Bupati tanpa sepengetahuan lembaga DPRD? Atau persetujuannya di bawah tangan?

Keempat, menggambarkan bahwa tidak ada tertip administrasi keuangnan di Pemkab Nias Barat, beda-beda tipis dengan amburadul. Gejala ini dapat berpotensi mengelabui data- data keuangan untuk kepentingan tertentu.

Kasus di atas agak rumit, kecuali kalau DPRD karena berbagai hal tidak keberatan dan pura-pura tidak tahu. Namun, tetap ada orang yang bertanggungjawab agar tidak terulang lagi kasus seperti ini kedepan. Menurut pengalaman penulis yang paling bertanggung jawab atas perubahan besaran target pos PAD atau pos-pos lain adalah Sekretaris Daerah selaku ketua TAPD dan koordinator pengelolaan keuangan daerah.

Karena tanpa sepengetahuannya perubahan tersebut tidak akan terjadi. Maka, idealnya seorang Sekda diharapkan mengerti masalah dan punya nyali. Kalau mengerti masalah tapi tidak punya nyali sama saja bohong. Namun, punya nyali tapi tidak mengerti masalah jadinya preman. Ya….suka-suka saya, peduli amat dengan peraturan. Inilah yang telah terjadi.

Walaupun asa penulis kepada DPRD sudah mulai pudar, apalagi pada tahun politik ke depan lebih fokus ke arah persiapan untuk bertarung pada pileg 2019. Namun, ada secercah cahaya, tidak ada salahnya kalau mereka menggunakan hak kontitusinya, untuk menjernihkan rekayasa PAD dan perubahan besaran PAD dan pos-pos lain, agar kedepan menjadi pembelajaran kepada eksekutif.

Hal ini penting supaya lembaga DPRD Kabupaten Nias Barat dianggap masyarakat “masih ada” dan tidak dijadikan sebagai “subjek pelengkap” oleh eksekutif. Ingat gaji/honor/tunjangan legislatif baru naik signifikan supaya fungsi pengawasan efektif serta berani ngomong untuk kepetingan masyarakat. Kalau tidak berani ngomong mengapa jadi anggota DPRD atau ada apa-apanya? Kalau tidak sekarang kapan lagi. Masyarakat menunggu. (*)

Note : Isi sepenuhnya menjadi tangung jawab penulis. Redaksi tidak bertanggung jawab atas implikasi yang terjadi akibat tulisan penulis.

  • Bagikan