BERITA9, MEDAN – Baru-baru ini seorang peneliti UGM mengumumkan hasil penelitiannya yang amat mencengangkan. Hasilnya, ternyata rakyat sangat toleran dengan praktek korupsi. Rakyat, setidaknya yang terpilih menjadi responden penelitian, lebih memilih pelayanan yang lebih cepat dan pasti daripada mempersoalkan praktek korupsi yang dihadapi. Bahkan beberapa responden mengatakan bahwa adanya praktek korupsi dalam bentuk deal suap-menyuap merupakan salah satu jaminan kepastian urusan bakal beres.
Hasil penelitian memang tidak sampai kepada kesimpulan bahwa rakyatlah sebenarnya yang paling tidak siap memberantas korupsi. Namun, hasil penelitian Deny JA, Direktur Lembaga Survey Indonesia (LSI) tentang materi kampanye Pilkadasung yang paling ditunggu-tunggu rakyat ternyata juga bukan isu korupsi. Rakyat, menurut LSI tidak terlalu pusing dengan praktek-praktek korupsi. Isu-isu tentang ekonomi, penanggulangan kemiskinan dan pengangguran menjadi perhatian rakyat yang utama.
Kedua hasil penelitian ini nampaknya memiliki esensi yang relatif saling mendukung, persepsi rakyat tentang korupsi berbeda dengan hipotesis yang dibangun para peneliti serta persepsi para pakar. Korupsi tidak dipersepsikan oleh rakyat sebagai ancaman bagi masa depan bangsa ini. Yang penting bagi rakyat ialah bagaimana mereka mendapat kepastian meneruskan hidup, mengentaskan mereka dari pengangguran dan kemiskinan, syukur-syukur bisa meretas masa depan yang lebih baik.
Penyebab korupsi kolektif
Kita ingin mengatakan sekarang, ternyata hambatan pemberantasan korupsi tidaklah semata-mata datang hanya dari perilaku dan mental para pejabat yang korup melainkan juga datang dari rakyat yang telah lama melakukan penyesuaian diri dengan praktek korupsi yang sudah membudaya. Telah tercapai semacam keseimbangan dalam keseharian kehidupan rakyat kita berteman akrab dengan korupsi dalam kurun waktu yang lama. Sehingga korupsi sudah bisa ditoleransi dan menjadi bagian dari hidup sehari-hari.
Hasil kedua penelitian itu sungguh-sungguh merisaukan kita. Pemberantasan korupsi yang kini tengah intensif dilakukan berbagai pihak menyahuti tuntutan yang telah lama disuarakan oleh rakyat dan lalu kemudian dipertegas oleh tekad pemerintahan SBY-JK, tentu akan berhadapan langsung dengan tingkat toleransi rakyat yang tinggi terhadap korupsi itu sendiri.
Ini menjadi sebuah paradoks yang akan membuat pemberantasan korupsi itu sendiri akan menjadi sulit. Sebab asumsi yang terjadi di masyarakat, korupsi itu sungguh-sungguh memang dilakukan secara kolektif. Meminjam istilah Amien Rais, korupsi berjamaah. Bahkan sebagian anggota masyarakat sudah terlanjur menikmati itu.
Menurut Jeremy Pope (2000) dalam bukunya Strategi Memberantas Korupsi yang diterbitkan oleh Transparancy International Indonesia, definisi korupsi adalah menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan untuk keuntungan pribadi. Namun korupsi dapat pula dilihat sebagai perilaku tidak mematuhi prinsip mempertahankan jarak. Itu artinya, dalam pengambilan keputusan di bidang ekonomi, apakah itu dilakukan oleh perorangan di sektor swasta atau oleh pejabat publik harus mengindarkan diri dari hubungan pribadi atau kedekatan keluarga.
Sekali prinsip mempertahankan jarak ini dilanggar dan keputusan dibuat berdasarkan hubungan pribadi atau keluarga, korupsi akan timbul. Contohnya, konflik kepentingan dan nepotisme. Prinsip mempertahankan jarak ini adalah landasan untuk organisasi untuk mencapai efisiensi. Namun praktek yang terjadi, korupsi memiliki dimensi yang jauh lebih luas. Di Indonesia, korupsi dapat ditolerir dan bahkan dilakukan secara kolektif berakar kepada soal kesejahteraan.
Sebagian besar orang yang mentolerir korupsi beranggapan, hal itu terjadi karena masalah kesejahteraan. Ukuran tingkat kesejahteraan itu secara sederhana dideskripsikan secara sederhana yaitu jumlah nominal gaji yang tidak mencukupi. Gaji aparatur pemerintah (PNS, Polisi, Tentara, Hakim, Jaksa dan aparatur pelayanan publik lainnya) serta karyawan swasta hanya cukup membiayai hidup 15 hari setiap bulan. Sisanya harus tambal sulam, melalui berbagai cara. Sebagian lainnya beranggapan penyebab korupsi sudah merupakan bagian sisi gelap daripada watak bangsa ini.
Namun hasil survei Transparancy International Indonesia menunjukkan lain. Korupsi kolektif semakin sistematis dan sistemik antara lain karena adanya beberapa faktor persepsi, yang merefleksikan tingkat toleransi masyarakat terhadap korupsi. Didalamnya termasuk sejauhmana hubungan antara mengambil tindakan dan sejauhmana suatu perilaku dianggap merugikan, tercela atau tidak dapat dibenarkan.
Hal ini kemudian diperparah oleh apatisme orang untuk melawan korupsi dan mengambil tindakan yang diakibatkan oleh, pertama, keyakinan bahwa perilaku korupsi dapat dibenarkan dalam situasi tertentu, kedua, keyakinan, tidak ada gunanya melaporkan korupsi, karena tidak ada tindakan apa pun yang diambil, ketiga, keyakinan, perilaku korupsi itu ditafsirkan bukan praktek korupsi, keempat, takut akan mendapat balasan, secara pribadi dan dalam pekerjaan, kelima, kedudukan yang rendah dalam organisasi, keenam, persepsi pegawai terhadap perilaku atasan dan ketujuh, adanya keraguan apakah bukti-bukti korupsi telah mencukupi.
Penulis : Ir. H. Chaidir Ritonga, MM : Ketua Kadin Sumatera Utara dan Peserta Program Doktor Perencanaan Wilayah, Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara. Email:Chaidir_Ritonga@Plasa.com