BERITA9, JAKARTA – Wakil Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Miftahul Ahyar dalam sidang ke-11 terdakwa kasus penodaan agama Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok yang digelar di Auditorium Kementerian Pertanian (Kementan), Jalan RM Harsono, Jakarta Selatan, Selasa (21/2) memastikan bahwa apa yg diucapkan Ahok soal Surat Al Maidah ayat 51 diisyaratkan sebagai ungkapan kegusaran terdakwa terkait pemilihan pemimpin.
Menurut Kyai Miftah, ayat itu berkaitan dengan larangan memilih pemimpin nonmuslim, termasuk di antaranya dari Yahudi dan Nasrani.
“Bagi mereka yang melakukan itu ada di jalan yang sesat dan terancam. Ini sesuai dengan berbagai beberapa ayat Ali Imran, An Nisa, dan sebagainya yang separalel atau semakna dengan Al-Maidah 51,” ujar Kyai MIftah.
Hakim bertanya pemimpin seperti apa yang dimaksud dalam ayat tersebut, Kyai Miftahul menjelaskan bahwa termasuk pemimpin agama dan dunia.
“Jadi maksud pemimpin ya yang memimpin agama dan dunia,” tutur Kyai Miftah.
Ditanya mengenai asal ayat tersebut, Kyai Miftah menjelaskan, salah satunya karena ada sahabat Nabi Muhammad SAW yang merasa dikhianati dan kemudian memilih memisahkan diri. “Itu dari sekian sebab,” jelas Kyai Miftah.
Dialog kemudian berlanjut majelis hakim bertanya, “Apa alasan ahli sampai mempunyai pendapat, bahwa kalimat ini merupakan suatu penistaan terhadap Al-Maidah itu sendiri?”
Kyai Miftah lalu menjelaskan alasannya. Dia menyebut pada bagian pengucapan kata ‘jangan percaya‘ yang disambung dengan ‘dibohongi dengan ayat‘ dalam pidato Ahok itu yang dianggap menistakan agama.
“Karena di situ ada kata-kata ‘jangan percaya‘ lalu disambung dengan ‘dibodohi, dibohongi pakai ayat‘, sedangkan Ahok itu tidak punya kompetensi menjelaskan ayat tersebut” jawab Kyai Miftah.
Hakim kemudian menjelaskan kembali satu per satu kata yang diucapkan Ahok dalam pidatonya di Kepulauan Seribu. Dalam pidato Ahok, menurut hakim, Ahok mengatakan ada orang lain sebagai pihak yang membohongi.
“‘Jangan percaya sama orang’ berarti ini membicarakan orang, kan begitu. ‘Bisa saja dalam hati kecil bapak ibu tidak bisa pilih saya ya kan dibohongi pakai Al-Maidah 51’. Ini kan berarti kan menurut si pembicara yang mengucapkan kalimat ini ada orang lain yang membohongi pakai Al-Maidah, kan begitu. iya kan?” tanya hakim.
“Tidak begitu,” jawab Miftahul.
Hakim kemudian bertanya mengenai kebenaran seseorang yang menyampaikan ayat Al Quran termasuk Al-Maidah ayat 51. Menurut Kyai Miftah, setiap ayat Al Quran memang harus diyakini kebenarannya. Namun perihal siapa yang menyampaikan itu yang harus dikonfirmasi kembali.
“Dalam konteks Al-Maidah sendiri, kalau menurut ahli sendiri itu makna yang paling tepat di situ itu makna yang mana?” tanya hakim
Kyai Miftah menjawab, “Itu memang aulia diartikan sebagai pemimpin. Ada (yang memaknai lain), tapi yang lebih tepat itu,”
Menurut Kyai Miftah, terjemahan lainnya bisa juga pertemanan dekat. Dia juga mengatakan ‘aulia’ merupakan bentuk jamak dari wali.
“Pertemanan istilahnya. Tapi pertemanan yang khusus, teman dekat, bentuk jamak daripada wali. Karena dilarang mengambil pemimpin itu justru sederhana. Kalau diartikan mengambil pertemanan bisa jadi lain. Itu ada persamaan dari segi hakekat pemaknaan. Baik itu diartikan sebagai pemimpin maupun pertemanan,” ujar Miftahul.
Miftahul juga ditanya apakah terjemahan di Indonesia untuk kata aulia memang sama atau tidak. Dia menjawab untuk Al-Maidah 51 memang penafsirannya pemimpin.
“Saya pernah membaca, bahwa ulama di Indonesia, itu penafsirannya pemimpin bagi Al-Maidah,” tutur Kyai Miftah. (red/bhm/ade/ina)