BERITA9, JAKARTA – Rencana pemerintah yang akan melarang ekspor kelapa butir berdampak sangat luas. Sekitar lima juta petani kelapa akan mengalami dampak langsung dari rencana ini. Ekspor kelapa butir telah berlangsung dalam tiga tahun belakangan ini dan menurut petani telah memberikan harga jauh lebih baik.
Sebelum adanya ekspor, petani hanya menikmati harga Rp. 1.200 per butir. Dibeberapa tempat seperti Kalimantan Barat bahkan dibawah seribu. Karena dinilai tidak ekonomis, dibebetapa daerah, kelapa tidak dipanen dan dibiarkan jatuh dan membusuk.
Namun sejak industri luar negeri mulai membeli kelapa dari petani dengan harga fantastis, kehidupan petani mulai berangsur membaik. Namun belakangan ini petani enggan menjual ke industri dalam negeri karena harga yang dipatok sangatlah murah sekali dibawah Rp.2.000 per kilogram sedangkan bila di ekspor harganya bisa mencapai Rp 3.000 -3.300 per kilogram.
Disparitas harga inilah yang membuat petani lebih senang mengekspor ketimbang menjual ke industri dalam negeri. Sementara itu, pemerintah beralasan pelarangan diperlukan karena kebutuhan industri kelapa bulat di tanah air sangat tinggi sedangkan pasokan dari petani sangat rendah.
Menyikapi sikap keras pemerintah tersebut, Ketua Umum Persatuan Petani Kelapa Indonesia (Perpekindo), Muhaemin Tallo menanggapi permasalahan ini menyatakan parameter yang paling nyata dan gampang untuk dilihat adalah bagaimana perkembangan perkebunan kelapa di Indonesia dalam waktu 40 tahun terakhir.
Jika luasan dan produktifitas perkebunan kelapa Indonesia tidak berkembang artinya industri dalam negeri dan pemerintah belum mampu meningkatkan pendapatan petani kelapa.
“Kenapa demikian karena jika harga kelapa tinggi maka semangat untuk menanam kelapa akan menggelora diseluruh wilayah Indonesia tapi kenyataannya yang kita alami selama 40 tahun ini adalah semangat berkebun kelapa semakin meredup,” ucap Muhaemin, pria yang berasal dari Indragiri Hilir Riau ini.
Ia menambahkan, di Indragiri Hilir sekitar 100.000 hektar kebun kelapa rusak ditinggalkan petani akibat jatuhnya harga pada tahun 80an hingga 90an. Secara nasional lanjutnya, dari sekitar 3,6 juta hektar luas total kebun yang ada hampir 2 juta hektar kebun yang pohonnya sudah tua dan seharusnya diremajakan.
“Pemerintah sepertinya hanya mampu meremajakan sekitar 40.000 hektar per tahun, sehingga akan butuh puluhan tahun untuk menyelesaikan peremajaan kelapa nasional. Kuncinya adalah melibatkan petani. Peremajaan kelapa nasional dapat berjalan dengan sendirinya jika petani merasakan manfaat ekonomi kebunnya. Jika harga kelapa baik seperti saat ini maka dipastikan peremajaan kelapa dapat berlangsung kurang dari sepuluh tahun. Luas dan produksi cenderung menurun karena selama beberapa puluh tahun sektor kelapa belum mampu mensejahterakan petaninya” jelasnya.
Menurutnya, sebelum adanya ekspor kelapa banyak pohon kelapa ditebang diganti dengan tanaman lain yang dianggap petani lebih mensejahterakan terutama sawit. Tapi 1-2 tahun terakhir semenjak harga kelapa tinggi oleh ekspor masyarakat mulai memelihara kelapanya dengan baik.
Muhaimin berkata, petani bahkan mulai melakukan pemupukan agar produksi buah kelapa mereka meningkat. Sebagian masyarakat seperti di Indragiri Hilir, daerah asalnya mulai menebang sawitnya dan menggantikannya kembali dengan tanaman kelapa. (red)
bersambung….