BERITA9, JAKARTA – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Sirodj tertimpa musibah, ia diberitakan sebuah media telah memanipulasi jual beli tanah di Malang, Jawa Timur. Dalam pemberitaan media BO, Kang Said-begitu biasa ia disapa- disangka menjadi makelar alias calo dari sebuah lembaga gereja. Ditulisnya, Kang Said juga memanipulasi jumlah penjualan, semula katanya Rp 1,7 milyar, tapi sebenarnya Rp. 9 milyar.
Atas kesimpangsiuran berita itu, pembeli tanah H. Qosim di Malang, Jawa Timur, H. Denny M. Syaifullah, SH angkat bicara terkait fitnah yang ditujukan ke Ketua Umum PBNU Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj. Ia mengatakan pembelian tanah di Malang antara pihaknya dengan H. Qosim dan tidak ada hubungan dengan Ketua Umum PBNU.
“Itu fitnah keji ke Kiai Said karena faktanya pembelian tanah yang diberitakan Harian Bangsa merupakan urusan H. Qosim (penjual) dengan saya (pembeli). Dan tidak ada janji membangun islamic centre, itu pembayaran sudah lunas tidak seperti yang diberitakan,” ujar Deny pembeli tanah H. Qosim di Gedung PBNU, Jakarta, Kamis (29/12).
Ia mengatakan tuduhan Kiai Said sebagai mediator pembelian tidak benar. Pembelian tanah, lanjutnya tidak ada kaitannya dengan KH. Said. “Kiai Said pun tidak pernah bertemu sama sekali dengan H. Qosim,” jelas pria paruh baya itu.
Deny lantas menghubungi H. Qosim penjual tanah di Malang via telepon di depan wartawan. Dalam percakapannya Haji Qosim mengatakan tidak benar Kiai Said menjadi mediator penjualan tanahnya seluas 1,8 hektar. Bahkan Qosim membenarkan pihaknya tidak pernah bertemu dengan Prof. Dr. KH. Said Aqil Siroj.
“Fitnah ke Kiai Said itu. Saya tidak pernah dihubungi media apapun dan Lutfi yang menjadi narasumber harian bangsa menumpang untuk tenar,” kata H.Qosim via telepon.
Seperti diketahui baru-baru ini beredar pemberitaan dari media abal-abal memfitnah KH. Said Aqil Siroj yang menyebutkan menjadi makelar pembelian tanah di Malang untuk seminari.
Anehnya, penyajian berita itu sendiri tidak memuat fakta dokumen, melainkan hanya testimoni yang tidak bisa dipegang kebenarannya. Dilihat dari sisi jurnalistik, penulisan berita itu jauh dari kaidah Kode Etik Jurnalistik (KEJ) yang menjadi acuan kalangan media di tanah air.
Berita itu ditulis hanya berupa wawancara dan testimoni dari penulisnya, sementara data otentik baik itu berupa dokumen, rekaman suara, surat pernyataan atau bukti-bukti yang memperkuat tuduhan, tidak bisa disajikan oleh media BO itu.
Tidak puas hanya memfitnah di media online, mereka menerbitkannya dalam bentuk koran dan menaruh berita fitnah dalam bentuk headline, karuan hal itu membuat gerah kaum Nahdhliyin. (red/hwi)