BERITA9, JAKARTA – Setelah lama tak terdengar kabarnya, tiba-tiba sosok mantan Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail kembali mencuat dalam jagat pemberitaan. Bukan karena dia mengambil langkah politik, tetapi lantaran tersandung kasus korupsi.
Nur ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan kasus suap pembebasan lahan di Depok, Jawa Barat. Konon, nilai kerugian negara dalam perkara itu mencapai sekitar Rp10,7 miliar. Nur pun menjadi pimpinan PKS kedua yang terjerat perkara rasuah selepas Luthfi Hasan Ishaaq yang menjadi terpidana perkara suap kuota impor daging sapi.
Sejak awal kasus ini mencuat, PKS sebagai partai yang menaungi Nur Mahmudi seolah bersikap menjauh. Padahal, jasa Nur Mahmudi terhadap PKS cukup besar.
Ia pernah menjadi Presiden PKS pertama sejak 1998 hingga 2000. Ia pun pernah menjadi Menteri Kehutanan dan Perkebunan di masa kepemimpinan mendiang Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Wakil Ketua Dewan Syuro PKS Hidayat Nur Wahid juga tak mau banyak bicara saat disinggung perkara sejawatnya itu. “Ah, itu urusan hukum,” kata Hidayat singkat.
Dari analisis pengamat politik Adi Prayitno, dalam kasus ini PKS memang sengaja ‘melupakan’ Nur Mahmudi. Menurut dia sikap PKS terhadap Nur lebih banyak didasarkan alasan politis.
Adi menjelaskan ada beberapa faktor yang diperkirakan menjadi alasan PKS menjauh dari persoalan membelit Nur Mahmudi. Pertama, kata dia, kemungkinan PKS menganggap kasus Nur Mahmudi adalah murni urusan pribadi.
“Sepertinya PKS tak mau mengintervensi kasus hukum Nur Mahmhdi. PKS ingin melokalisasi kasus itu sebagai kasus pribadi Nur Mahmudi yang tak ada kaitannya dengan partai,” ujar kata Adi beberapa waktu lalu.
Menurut Adi sikap itu diambil PKS buat menjaga citra. Dia menilai PKS tak ingin kembali terseret setelah sejumlah kadernya terjerat perkara rasuah. “Ini penting dilakukan untuk menjaga kasus korupsi dari intervensi apapun,” ujar dia.
Selanjutnya, kata Adi, PKS kemungkinan ingin menjaga visi politiknya menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 mendatang. Adi mengatakan PKS tak ingin citranya tercoreng karena kasus korupsi.
“Ini dilakukan PKS untuk menghindari beban elektoral di tahun politik. Apalagi saat ini PKS sedang lagi dalam performa baik dan bersih karena nyaris tak ada kadernya yang terjaring kasus korupsi,” ungkapnya.
Di samping itu, Adi menilai PKS mengambil sikap seperti itu karena ingin fokus dalam mendongkrak elektabilitasnya dalam pemilihan legislatif mendatang. Banyak upaya yang sedang dilakukan PKS untuk membidik target kursi di parlemen.
“PKS sepertinya ingin fokus pileg dan pilpres tanpa memikirkan peristiwa politik apapun yang membebani citra PKS. Saat ini PKS sedang berjuang lolos parlemen dan menang pilpres,” ujar Adi.
Pengamat Politik Emrus Sihombing mengatakan setidaknya ada dua prediksi mengapa PKS enggan membantu Nur Mahmudi dalam kasus korupsi. Pertama, Emrus bilang bisa jadi hal itu lantaran Nur Mahmudi berada dalam faksi berbeda dengan kepemimpinan PKS saat ini.
“Kalau di teori namanya ada faksi yang berbeda, kalau di riilnya mungkin kubu. Bisa jadi hipotesis saya Nur Mahmudi adalah kubu yang berbeda dari kepemimpinan yang sekarang,” kata Emrus.
Emrus menjelaskan faksi di setiap partai adalah hal yang wajar. Di seluruh dunia ada macam-macam faksi di setiap partai, termasuk PKS.
“Nah, karena itu, wajar saja bila memang PKS enggan membantu. Kan, ini sebenarnya siapa yang berkuasa saja,” kata dia.
Hipotesis kedua, menurut Emrus, adalah PKS sedang mengamalkan teori lokalisir. Yakni korupsi adalah urusan pribadi, dan bukan perilaku organisasi.
“Korupsi itu, kan, perilaku perseorangan bukan bagian dari tanggung jawab partai sebenarnya,” kata dia.
Apalagi, kata Emrus, Nur Mahmudi diduga melakukan korupsi saat menjabat sebagai Wali Kota Depok. Maka dari itu apapun keputusan seorang kader saat menjabat adalah murni tanggung jawabnya secara pribadi.
“Istilahnya dia, kan, sudah mewakafkan kadernya buat mengabdi. Ya, jadi enggak ada urusan partai,” terang Emrus.
Terakhir, Emrus menegaskan sudah sepantasnya partai tidak memberikan bantuan kepada kader. Jika ada partai yang memberikan bantuan kepada kader terduga korupsi, maka berpotensi menimbulkan citra buruk ke parta tersebut.
“Karena perlu ditegaskan partai bukan milik pemerintah atau kader atau pengurus saja. Partai adalah milik semua bangsa dan rakyat, jadi partai harus bertanggung jawab ke publik,” ujar dia. (red)