Gurita Lintas Sektoral Kapitalis Hitam Keturunan China

  • Bagikan

Bank telah menjadi nyawa “kapitalis hitam”, yakni pengusaha hitam, yang di Indonesia didominasi oleh konglomerat skala Nasional dan lokal keturunan China. Mereka dengan mudah memperoleh kredit dengan bantuan “jaringan orang dalam”.

Penulis : Priyono B Sumbogo

Tanggal 18 September 2006 dikumandangkan “Deklarasi Konferensi Internasional Gerakan Rakyat Melawan Neokolonialisme, Imperialisme, dan Kejahatan Kemanusiaan International Monetary Fund (IMF) – World Bank” Gerakan Rakyat Lawan Nekolim (Gerak Lawan) merupakan bagian dari Pergerakan Petani Dunia (La Via Campesina dan Friends Of the Earth International).

Dalam pikiran organisasi ini IMF dan Bank Dunia merupakan institusi yang menyebabkan terjadinya pengabaian terhadap hak hidup rakyat dan ketidakadilan global dengan menerapkan kebijakan ekonomi liberal lewat penyaluran utang luar negeri. Hal ini semata-mata hanya untuk menjalankan agenda penjajahan baru dan liberalisasi ekonomi terhadap negara dunia ketiga.

IMF dan Bank Dunia, demi keuntungan akumulasi modal dan laba tertinggi dari modal internasional (TNCs—transnational corporation) telah secara nyata mendorong kekerasan bersenjata meliputi pembunuhan, penganiayaan dan pemindahan penduduk secara paksa, yang kesemuanya merupakan bentuk kejahatan kemanusiaan (Crimes Againts Humanity).

Dalam salah satu butir deklarasinya, gerakan itu menghimbau dunia untuk membangun dunia baru tanpa IMF dan Bank Dunia, dan segera laksanakan praktek-praktek alternatif pembangunan dan keuangan yang sudah dilakukan oleh rakyat di seluruh dunia dengan menggunakan kearifan lokal dan berbasiskan perlindungan terhadap rakyat.

Tapi mungkin itu hanya mimpi bagi kaum tani dan para pengusaha kecil di dunia, khususnya di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Bank telah menjadi nyawa sistem “kapitalis hitam” yang eksploitatif dan dominatif.

Bank telah menjadi penakluk dalam sistem dunia yang menciptakan ketergantungan pihak-pihak yang diekslpoitasi dan didominasi. Di tataran negara, begitu banyak negara berkembang yang bergantung dan didikte oleh Bank Dunia, mesin uang Amerika Serikat dan negara-negara maju sekutunya.

Dengan perspektif teori Ketergantungan (Teori Dependensi), sosiolog Andre Gunder Frank (1980) melihat ketimpangan yang begitu hebat antara negara-negara maju dengan negara-negara berkembang. Oleh karena itu, Frank menyarankan agar negara-negara berkembang yang hanya menjadi pinggiran dari negara-negara maju segera memutus rantai ketergantungan dengan memutus hubungan ekonomi yang tidak adil tersebut.

Gunder Frank melihat bahwa selama negara-negara berkembang tergantung pada negara-negara maju maka negara-negara berkembang tersebut akan semakin miskin karena akumulasi keuntungan yang diperoleh lewat industrialisasi pada akhirnya mengalir kembali ke negara-negara maju. Sebab lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF tak lain adalah agen dari negara-negara maju untuk melindungi kepentingannya, yakni kepentingan perusahaan multi nasional yang ada di negara berkembang itu tapi berpusat di negara-negara maju.

Fernando Henrique Cardoso PresidenRepublik Federatif Brasil untuk dua kali masa jabatan (1 Januari 1995–1 Januari 2003) yang melihat faktor pokok ketergantungan tidak hanya semata-mata persoalan eksternal seperti yang dikemukakan oleh teori ketergantungan klasik, melainkan juga adanya faktor internal yakni sistem ekonomi politik yang dianut suatu negara dan perilaku politik pemerintahan yang berkuasa di negara tersebut. Faktor internal yang diperbaiki diharapkan bisa mengurangi ketergantungan suatu negara berkembang terhadap negara maju dan lembaga keuangan internasional. Bahkan dalam berbagai kesempatan bisa melakukan negosiasi yang setara kedudukannya dalam hubungan internasional belakangan ini.

Teori ketergantungan sesungguhnya dapat ditarik untuk menganalisis hubungan antara bank dengan rakyat Indonesia selama ini. Bank telah menjadi nyawa “kapitalis hitam”, yakni pengusaha hitam, yang di Indonesia didominasi oleh konglomerat skala Nasional dan lokal warga keturunan China. Mereka dengan mudah memperoleh kredit dengan bantuan “jaringan orang dalam”.

Adapun petani, buruh, atau pengusaha kecil teramat sulit memperoleh pinjaman bank. Kalau pun diberi pinjaman, jumlahnya terbilang hanya jutaan rupiah. Mereka juga diawasi dengan ketat dan segera diburu bila tak segera membayar cicilan pinjaman.

Karena gentar meminjam kepada bank, petani, buruh, dan pengusaha kecil memilih menjadi sapi perahan kapitalis hitam yang memperoleh kredit trilyunan rupiah. Lahan pertanian diserahkan sebagai plasma bisnis agroindustri konglomerat. Industri kecil diserahkan sebagai tameng pengusaha hitam. Upah buruh ditekan serendah-rendahnya.

Ketika kredit pengusaha hitam macet, dan mereka kabur keluar negeri, tanah petani dan aset pengusaha kecil disita karena dianggap milik sang kapitalis hitam keturunan Cina. Buruh pun kehilangan pekerjaan dan negara kecolongan.

Agar rakyat kecil yang umumnya kaum pribumi terbebas dari kapitalis hitam, pikiran Cardoso pantas diturunkan untuk mengubah arah kebijakan bank. Pemerintah dan pengelola bank (faktor internal dalam perspektif Cardoso) lebih baik mempermudah kredit bagi setiap individu rakyat dengan syarat mudah dan sanksi ringan bila terjadi kredit macet. Bukankah lebih baik uang negara “dikemplang” oleh rakyat daripada dibawa kabur oleh kapitalis hitam keturunan Cina. (*)

  • Bagikan