Begini Penjelasan Pengusaha Dampak Dari Penerapan Zero ODOL (Bag 2)

  • Bagikan
Uji coba jembatan timbang portabel di jalan tol Jakarta - Cikampek (foto dok BERITA9)

BERITA9, SURABAYA – Solusi pemerintah agar pengusaha menambah daya angkut truk dengan menambah sumbu atau jumlah roda, dianggap banyak celah kelemahannya. Diantaranya, berapa banyak stok barang dan kesiapan karoseri serta waktu pengerjaan setiap satu buah truk yang dibutuhkan karoseri atau ATPM mampu menangani banyaknya kendaraan angkutan yang saat ini beredar diseluruh Indonesia?

Dan apakah pabrik atau ATPM telah melakukan penyebaran dan stock suku cadang alias sparepart diseluruh Indonesia. Lalu apakah panduan memodifikasi penambahan sumbu truk berbagai merk sudah ada? Serta persetujuan dari ATPM untuk menjamin dari sisi safety-nya sudah ada?

Dampak lain dari pemaksaan peraturan itu, dikhawatirkan akan ada penumpukan barang yang terlambat terdistribusi akibat keterbatasan armada pengakut. “Saya, misalkan, punya satu truk biasa isi 8,5 ton bawa bawang, akibat peraturan ODOL, maka satu truk hanya boleh bawa 6 ton, lha barang yang enggak diangkut disimpan di gudang. Nunggu baliknya itu truk perlu waktu seminggu, distribusi terganggu, harga pasti naik.  Siapa yang rugi? Kan rakyat, beban rakyat jadi nambah,” ujarnya.

Apabila penambahan truck sejumlah 85 persen dari yang ada saat ini terlambat maka akan ada akumulasi barang yang tidak terangkut dimana mana dan disemua sektor, bukan saja semen, baja, beras, pupuk, pasir, bahan pokok dan barang barang lainnya. Sehingga akan terjadi kekurangan barang dimana-mana dan ini akan menambah kenaikan harga. Padahal saat ini harga sedang stabil. Tapi akan terguncang akibat terkena dampak zero ODOL.

“Hukum ekonomi supply and demand, supply berkurang, sementara permintaan kurang, harga pasti naik,” kata Ardianto.

Baca Juga :

Dampak lain dengan penerapan zero ODOL diharapkan kecepatan truk lebih meningkat karena muatan lebih ringan dan macet bisa dikendalikan. Namun dari hasil kajian yang dilakukan pihak Ardianto, ternyata menimbulkan efek domino berkepanjangan, yakni kemacetan yang luar biasa.

Dengan bertambahnya jumlah armada, katakan jumlah awal 85 unit, akibat Zero ODOL jumlah truk pasti bertambah dua kali lipat. Itu artinya, jalanan akan bertambah macet karena tidak mampu menampung bertambahnya truk dari semua lini. “Sedangkan penambahan panjang jalan setiap tahun tidak sesuai dengan kebutuhan,” ujarnya,

Masih kata Ardianto, seiring dengan penambahan truck, berdampak pada penambahan jumlah sopir yang awalnya 85 orang sopir dari setiap 100 truck saat ini, menjadi dua kali lipat lagi. “Pertanyaanya apakah mudah mendidik atau merekrut sopir baru yang baik, tepat waktu, tahan ngantuk serta tidak ugal-ugalan? Siapa yang akan menyiapkan sopir tambahan tersebut?,” ungkapnya.

Kembali lagi yang menjadi pertanyaan, lanjut Ardianto, apakah pemerintah sudah menghitung dampak ekonomi penerapan zero ODOL terhadap kenaikan harga semua barang? Apakah biaya tambahan perbaikan jalan Rp 23 triliun pertahun sudahkah sebanding dengan biaya ekonomi yang akan timbul dan inflasi bakalan terkerek menjerat leher.

“Ingat tahun 2018 dan 2019 itu tahun politik. Isu ini bisa menjadi kampanye hitam menjatuhkan pemerintah. Para politisi akan memainkan isu ini sebagai komoditas politik tanpa solusi berarti bagi rakyat. Politisi bakalan mencari keuntungan kekuasaan,” ungkap pengusaha bergelar Doktor itu.

Untuk itu, kata Ardianto, sejumlah pengusaha di Jawa Timur mendesak pemerintah agar menunda pelaksanaan zero ODOL diundur ke 2020 setelah pemilu dan melalui persiapan yang lebih matang dari semua lini dengan kajian dari berbagi sisi oleh para ahli ekonomi.

“Lebih baik terlambat tapi menghasilkan dampak kecil ketimbang kerjar target malahan bikin kacau negara,” tandasnya. (uya/red)

  • Bagikan