Begini Penjelasan Pengusaha Dampak Dari Penerapan Zero ODOL (Bag 1)

  • Bagikan
Ilustrasi truk kelebihan muatan (foto dok BERITA9)

BERITA9, SURABAYA – Rencana pemberlakuan peraturan kendaraan angkutan yang over dimensi dan overload alias ODOL oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) pada 1 Agustus 2018 mendatang, menuai kontroversi dikalangan pengusaha dan pengamat ekonomi. Pasalnya, diduga peraturan tersebut dibuat dengan tidak melakukan kajian mendalam terhadap dampak ekonomi yang diakibatkan oleh aturan tersebut. Terlebih lagi, aturan Zero ODOL itu telah ada sejak tahun 1992. Dalam perjalanannya mengalami pasang surut penegakkannya.

“Kami pengusaha sangat setuju dengan aturan itu (Zero ODOL) tapi belum saat ini diberlakukan, masih banyak PR  (pekerjaan rumah-red) yang belum diselesaikan pemerintah. Jika dipaksakan, maka hanya akan menyimpan bom waktu bagi pemerintah,” kata Ardianto pengusaha angkutan asal Jawa Timur dalam perbincangan dengan BERITA9 disebuah hotel di Kota Surabaya, Jum’at malam (20/7/2018).

Ardi menjelaskan, sejatinya pengusaha yang tergabung dalam berbagai asosiasi di Jawa Timur tidak menolak adanya aturan Zero ODOL, tapi hingga saat ini pemerintah belum bisa menyediakan solusi terbaik atas dampak yang akan terjadi pasca penerapan aturan itu.

Ia lalu menyebut, usul Kemenhub agar pengusaha angkutan dan pemilik barang melakukan penambahan sumbu pada kendaraan pengakut, bukan usul yang baik. Sebab, diperlukan cost yang sangat besar, sedangkan pemerintah tidak menyediakan suntikan dana untuk itu.

“Lha sampai saat ini kami juga belum mendengar ada karoseri yang melakukan itu, jika pun ada, apakah para ATPM (agen tunggal pemegang merk) bersedia memberikan lisensi. Apakah nambah sumbu itu sesuai standart keselamatan yang ditetapkan pabrik otomotif dan standart pemerintah?,” ujarnya.

Ardianto berkata, pada dasarnya, semua pengusaha sangat mendukung pelaksanaan zero ODOL ini, namun karena penerapannya serentak untuk semua barang yang menggunakan angkutan truck seperti beras, semen, pupuk, baja, pasir, bahan kebutuhan pokok, bahan bangunan dan lain lain, maka dampak yang dikhawatirkan adalah adanya kenaikan harga diseluruh lini baik 9 bahan pokok, semen, beras, bahan bangunan dan lain sebagainya.

“Kalau dipaksakan, maka akan sangat berdampak kepada inflasi yang tidak terkendali yang efeknya diperkirakan akan lebih besar daripada kenaikan listrik dan BBM,” tegas Ardianto.

Baca Juga : 

Ia lalu membuat gambaran atas dampak ekonomi secara makro jika pemerintah memaksakan kehendaknya menerapkan peraturan Zero ODOL, yakni :

“Tarif angkutan akan naik antara 60% sd 80% tergantung seberapa besar prosentasi pelanggaran kelebihan muatannya atau overload. Saat ini para pengusaha angkutan menentukan tarif angkutan berdasarkan perhitungan muatannya melebihi ketentuan . Misal batasan tonase di JBI/JBKI 14 sd 16 ton namun dimuat 30 sd 40 ton. Sehingga jika zero ODOL diterapkan maka tarif akan naik 60 hingga 80 persen karena yang diangkut bukan 30 sampai 40 ton tapi hanya 18 hingga 20 ton untuk truck besar. Sedangkan truck kecil yang bisa muat 12 ton menjadi 8.5 ton saja sesuai JBI didalam buku KIR,

“Jika pelanggaran ODOL 185 persen artinya diperlukan pengadaan penambahan truck baru sejumlah 85 dari setiap 100 truck yang saat ini mengangkut barang. Berapa keperluannya se Indonesia? Tingggal menjumlahkan truck yang ada saat ini x 185 persen yang diperuntukan mengakut beras, semen, baja, pupuk, pasir, bahan pokok, bahan bangunan dan lain sebagainya.

Pengadaan ini bukan pekerjaan mudah. Ada banyak keterbatasan pabrikan menyediakan kendaraan baru sedangkan jumlah truk bekas dipasaran sangat langka. Parahnya, keterbatasan modal para pengusaha untuk membeli truck baru atau bekas juga sangat terbatas.

“Betul bank dapat memberikan modal, tapi apakah keuntungan dari angkutan mampu mengembalikan modal tersebut dalam beberapa tahun kedepan? Karena tariff saat ini sangat tidak menarik namun terpaksa dijalankan untuk keberlangsungan usaha angkutan. Inikan sama saja mematikan industri dalam negeri sendiri, apa itu yang diinginkan pemerintah,?” ungkap Ardianto.

Ia mengatakan, jika dengan penerapan zero ODOL dibarengi dengan penyesuaian tarif angkutan yang lebih menarik, maka kemungkinan pengusaha bersedia. Sebab dengan tarif menarik, pengusaha angkutan akan mampu membeli armada truk baru atau bekas.

“Tapi ingat, tarif angkutan naik, dampaknya harga barang-barang pasti akan naik juga. Kami hitung kenaikan bisa mencapai angka 80 bahkan 100 persen? Lalu siapa yang menjerit. Kan rakyat juga,” tandasnya. (uya/red)

Bersambung dibagian kedua……

  • Bagikan