BERITA9, MEDAN – Ahli hukum pidana Universitas Atmajaya Yogyakarta, Wardaniman Larosa berpendapat, aksi perekaman penyerahan uang dari Na’aso Daely alias Ama Veman kepada Faduhusi Daely, Bupati Nias Barat, Sumatera Utara, belum tentu dikatakan suap sebelum dilakukan analisis digital forensik oleh polisi.
“Jika dalam penyerahan uang itu disertai kalimat janji dari penerima, itu bisa saja dikatakan suap, tapi jika tidak, maka tidak bisa dikatakan suap, apalagi Bupati merasa menyerahkan uang itu ke gereja, tinggal dibuktikan saja tanda terima dari gereja, selesai perkara,” ujar Warda kepada BERITA9 di Jakarta, Selasa (27/12).
Dari keterangan yang disampaikan Bupati Faduhusi, kata Warda, indikasi suap masih belum bisa dibuktikan, sebab tidak ada saksi fakta yang menyatakan itu. Terlebih lagi, Bupati telah melaksanakan amanah dari pemberi uang itu untuk kegiatan sosial dengan menyerahkan ke gereja.
Menyinggung rekaman video yang dimiliki Na’aso Daely, Warda berkata, masih perlu diteliti kebenarannya, apakah video itu rekaman asli atau ada rekayasanya. Perlu juga dianalisa dialog yang terjadi saat itu.
(Baca juga : Faduhusi : Saya Dijebak Veman)
Warda berkata, saat ini ada modus-modus baru yang dilakukan oknum-oknum tertentu untuk memeras pejabat negara, salah satunya dengan membuat video yang seolah-olah itu aksi penyuapan. Indikasi itu sangat kuat karena saat ini Na’aso Daely sakit hati tidak mendapat proyek dari Bupati.
“Saya desak polisi segera bertindak, jangan didiamkan, nggak usah menunggu delik aduan, tapi harus responsive sebab sudah berkembang luas di masyarakat dan saya yakin itu jebakan, masa sih, Bupati mau disuap cuman 5 juta (rupiah), nggak masuk akal lah,” ujar Warda putra asli Nias.
Dilain pihak Warda juga menyesalkan tindakan Na’aso Daely yang hanya memperlihatkan video itu ke masyarakat tanpa berani menyerahkannya ke aparat hukum. “Kalau memang itu benar penyuapan, laporkan saja ke polisi atau kejaksaan, jangan disimpan sendiri,” tandasnya.
Warda berkata, keengganan Na’aso Daely melaporkan -yang katanya penyuapan itu- ke polisi patut dipertanyakan, apakah itu murni langkah memberangus korupsi ataukah hanya akal-akalan Na’aso Daely dengan maksud tertentu.
“Saya menduga itu hanya trik saja, kan terlihat dia ( Na’aso Daely) kesal tidak dapat proyek. Kalau itu benar, dia bisa kena pidana lho,” pungkasnya.
Warda mengatakan, Na’aso Daely dapat dijerat dengan tuduhan melanggar Pasal 310 ayat (1) KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Tentang Perbuatan Menyebarkan Fitnah, serta Pasal 27 ayat (3) UU Informasi, Tekhnologi, Elektronik (ITE) tentang Penyebarah Fitnah dengan Dengan Elektronik Berupa Rekaman dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 milyar.
Na’aso Daely juga bisa dijerat pasal berlapis yakni diduga melanggar Pasal 5 junto Pasal 12B ayat 1 UU Tindak Pidana Korupsi Tentang Upaya Penyuapan Kepada Penyelenggara Negara dengan ancaman hukuman pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta. (red/hwi)
Menyangkut ulasan dalam pemberitaan tersebut di atas, menurut hemat saya tentunya polisi tidak sesederhana itu untuk berttindak dan menangkap orang .
Tanpa adanya pengaduan dari orang yang merasa difitnah dan atau dicemarkan nama baiknya, maka hal itu tidak dapat diproses karena sangatlah jelas bahwa Pasal 310 ayat (1) KUHPidana dan Pasal 27 ayat (3) UU ITE adalah delik aduan.