Sikap ideal yang ditempuh para tersangka adalah menerima kenyataan ini apa adanya dan sambil mengikuti proses hukum, serta berupaya menata kembali kehidupan di tengah-tengah pergumulan yang sedang dihadapi.
Penulis : Adrianus Aroziduhu Gulo – Pengamat Sosial & Mantan Bupati Nias Barat, Sumatera Utara
Penanganan penyelesaian secara hukum kasus suap mantan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pudjo Nugroho kepada beberapa anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara, terkait kasus antara lain: Ketuk palu APBD Sumut Tahun 2012 dan 2013.
Persetujuan LKPJ Gubernur Sumut tahun 2013 dan 2014, Persetujuan PAPBD Sumut tahun 2013 dan 2014, Pengesahan APBD Sumut tahun 2014 dan 2015 dan uang penolakan penggunaan hak interpelasi anggota DPRD Sumut tahun 2015(bdk.ttps//www Voa Indonesia Com) sedang berjalan.
Secara bertahap anggota DPRD Sumut sebanyak 38 orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, satu-persatu dipanggil di Kantor KPK di Jakarta untuk diperiksa dan kemudian ditahan untuk kelancaran penyidikan. Kondisi inilah yang membuat beberapa anggota DPRD Sumut menghindar atau mencari dalih untuk tidak hadir memenuhi panggilan, kendatipun mereka telah dipanggil secara patut oleh KPK.
Masyarakat Sumut mengharapkan kepada KPK agar kasus suap tersebut cepat selesai, supaya stigma daerah Sumatera Utara sebagai daerah rawan korupsi sirna. Untuk itu bagi para tersangka diminta kooperatif dan ikhlas menjalani proses hukum. Sikap ini sangat penting selain mempercepat proses hukum, juga meringankan beban psykologis para tersangka sendiri maupun anggota keluarga serta kemungkinan dapat dipertimbangkan sebagai hal yang meringankan. Mengulur-ulur waktu, mencari dalih untuk mangkir pada panggilan KPK, tidak ada untungnya, malah lebih banyak ruginya dan tidak tertutup kemungkinan KPK melakukan jemput/panggil paksa. Bila itu terjadi sangat memalukan diri sendiri maupun anggota keluarga.
Mengulur-ulur waktu, mencari dalih untuk mangkir pada panggilan KPK, tidak ada untungnya, malah lebih banyak ruginya dan tidak tertutup kemungkinan KPK melakukan jemput/panggil paksa. Bila itu terjadi sangat memalukan diri sendiri maupun anggota keluarga.
Disisi lain dapat dipahami kondisi psykologis para tersangka. Apalagi sebelum kasus ini mengemuka, status tersangka sangat terhormat sebagai anggota DPRD atau mantan anggota DPRD. Akan tetapi berpikir akan status masa lalu, hanya menambah beban psykologis dan tidak akan menyelesaikan masalah yang pada akhirnya menyiksa diri dan anggota keluarga. Sikap ideal yang ditempuh para tersangka adalah menerima kenyataan ini apa adanya dan sambil mengikuti proses hukum, serta berupaya menata kembali kehidupan di tengah-tengah pergumulan yang sedang dihadapi. Kata bijak C.C.Seote mengatakan :”Spirit manusia itu jauh lebih kuat ketimbang apapun yang bisa menimpa dirinya.”
Sikap ideal yang ditempuh para tersangka adalah menerima kenyataan ini apa adanya dan sambil mengikuti proses hukum, serta berupaya menata kembali kehidupan di tengah-tengah pergumulan yang sedang dihadapi. Kata bijak C.C.Seote mengatakan :”Spirit manusia itu jauh lebih kuat ketimbang apapun yang bisa menimpa dirinya.”
Banyak pihak berharap kepada KPK agar kasus suap yang menghebohkan ini diusut dan dituntaskan sampai keakar akarnya. Termasuk mereka yang sudah mengembalikan uang suap pada saat diperiksa KPK. Pengembalian uang korupsi tidak menghapus pidana.
Uang Korupsi Dikembalikan
Issu yang berkembang di tengah-tengah masyarakat Sumatera Utara bahwa yang menerima uang suap dari mantan Gubernur Gatot Pudjo Nugroho, tidak hanya mereka yang sudah ditetapkan tersangka, melainkan masih ada lagi beberapa anggota DPRD Periode 2009-2014, akan tetapi saat diperiksa KPK mereka mengaku telah menerima, dan kemudian mengembalikan kepada KPK dengan kesadaran sendiri atau karena ketakutan. Apakah dengan mengembalikan uang korupsi pidananya hapus? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah menyimak pendapat beberapa pakar sebagai berikut:
Apakah dengan mengembalikan uang korupsi pidananya hapus? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, marilah menyimak pendapat beberapa pakar sebagai berikut:
Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Abdul Fickar Hajar berpendapat bahwa penghentian perkara korupsi karena tersangkanya telah mengembalikan uang yang dikorupsi tersebut, jelas bertentangan dengan pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Kurupsi, menyatakan, ”Pengembalian kerugian negara atau perekonomian negara tidak menghapuskan dipidanya pelaku tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 2 dan pasal 3(Republika, 2 Maret 2018)
Selanjutnya menurut Mudzakkir pakar hukum acara pidana Universitas Islam Indonesia mengatakan bahwa, pengembalian uang atau uang negara oleh terdakwa dapat menjadi bagi hakim untuk mengurangi pidana yang dijatuhkaan kepada terdakwa. Pengembalian berarti ada itikad baik untuk memperbaiki kesalahan. Beliau menegaskan pengembalian uang itu hanya mengurangi pidana, tetapi bukan mengurangi sifat melawan hukum (m.hukumonline com.Senin 18-1-2016).
Kemudian praktisi hukum T. Nasrullah sedikit berbeda pendapat soal waktu pengembalian hasil tindak pidana korupsi, pengembalian kerugian negara sebelum penyelidikan bisa menghapus tindak pidana. Salah satu unsur pidana adalah unsur kerugian negara. Bila sudah dikembalikan berarti unsur tersebut sudah hilang. Tapi syaratnya harus sebelum ada penyelidikan (Republika,2 Maret 2018).
Dari pendapat tiga pakar hukum di atas, pembaca dapat mengambil kesimpulan sementara. Silahkan. Namun penulis, sangat sependapat dengan bapak Mudzakkir bahwa pengembalian uang korupsi tidak menghapus pidana, melainkan hanya meringankan pidana. Dan yang lebih penting tidak hanya teletak pada hukuman berat atau ringan, melainkan bagaimana agar seseorang jera,kapok, dan takut korupsi. Mengapa? Sejauh pengamatan sementara, penulis merasa belum atau malah tidak ada ketakutan/kapok/jera/malu melakukan korupsi. Hal ini nampak sekali bahwa hampir tiap bulan bahkan tiap minggu KPK melakukan OTT dan yang kena OTT para pejabat dan pengusaha besar. Dan ketika mereka dibawa ke kantor KPK untuk diperiksa mereka santai saja, malahan ada yang meladeni wartawan untuk wawancara sambil senyum dan melambaikan tangan. Seperti orang tidak berdosa.
Perlu Efek Jera
Penuntasan kasus suap anggota DPRD Sumut oleh KPK, kiranya tidak behenti pada mereka yang sudah ditetapkan tersangka, melainkan, juga mereka yang sudah mengembalikan uang suap saat diperiksa. Ini sangat penting agar tidak terbentuk opini bahwa mereka yang sudah mengembalikan uang suap menjadi pahlawan. Selain itu, seseorang pejabat dapat bepikir spekulatif bahwa dipakai saja uang negara/daerah ini, terima saja suap dari bapak ini,dll. Mereka berkata dalam hati, kalau ketahuan dikembalikan, kalau tidak ketahuan itu namanya rejeki. Pola pikir seperti ini sangat berbahaya dan merusak tata pemerintahan yang baik serta moral bangsa
Selain itu, seseorang pejabat dapat bepikir spekulatif bahwa dipakai saja uang negara/daerah ini, terima saja suap dari bapak ini,dll. Mereka berkata dalam hati, kalau ketahuan dikembalikan, kalau tidak ketahuan itu namanya rejeki. Pola pikir seperti ini sangat berbahaya dan merusak tata pemerintahan yang baik serta moral bangsa
Koordinator bidang monitoring hukum dan peradilan Indonesia Corruption Watch(ICW) Emerson Yanto mengatakan: “Ada sepuluh hal yang membuat koruptor di indonesia tidak merasakan efek jera”. Salah satu dari sepuluh hal tesebut adalah :” Dalam beberapa kasus hakim menjatuhkan hukuman uang pengganti, tetapi hukuman itu bisa diganti dengan subsider pemenjaraan”. Selanjutnya Emerson Yanto menyampaikan bahwa, kebanyakan para koruptor memilih hukuman subsider. Mengapa? Para koruptor merasa lebih untung. Lebih untung tidur di penjara 1(satu) tahun dari pada bayar uang pengganti miliaran atau puluhan miliar(dapat dibaca selengkapnya pada Kompas Com. Tanggal 18-2-2016).
Salah satu dari sepuluh hal tesebut adalah :” Dalam beberapa kasus hakim menjatuhkan hukuman uang pengganti, tetapi hukuman itu bisa diganti dengan subsider pemenjaraan”. Selanjutnya Emerson Yanto menyampaikan bahwa, kebanyakan para koruptor memilih hukuman subsider. Mengapa? Para koruptor merasa lebih untung. Lebih untung tidur di penjara 1(satu) tahun dari pada bayar uang pengganti miliaran atau puluhan miliar(dapat dibaca selengkapnya pada Kompas Com. Tanggal 18-2-2016).
Untuk itu, agar efek jeranya dasyat semua anggota DPRD Sumut yang telah menerima suap dari Gatot Pudjo Nugroho, termasuk mereka yang telah mengembalikan uang suap diproses secara hukum, biarlah hakim Tipikor yang memutuskan hukum mereka. Hal ini penting, selain ada kepastian hukum, juga, mereka yang sudah ditetapkan tersangka, malah sudah ada yang dihukum dengan berkekuatan hukum tetap, tidak merasa dizolimi. Kemudian menjadi peringatan keras kepada segenap pejabat/DPRD di wilayah Sumatera utara.
Hal ini penting, selain ada kepastian hukum, juga, mereka yang sudah ditetapkan tersangka, malah sudah ada yang dihukum dengan berkekuatan hukum tetap, tidak merasa dizolimi. Kemudian menjadi peringatan keras kepada segenap pejabat/DPRD di wilayah Sumatera utara.
Perlu menyamakan pemahaman bagi orang yang sudah menggunakan uang daerah/negara tanpa hak, menerima suap dari pengusaha/pejabat tanpa hak, dan lain-lai, kemudian setelah proses hukum dikembalikannya, bukanlah orang yang punya integritas. Bagaimana kalau tidak ketahuan? Mereka diam saja. Mereka mengembalikan uang tersebut bukan karena kesadaran yang mendalam, melainkan karena ketakutan. Orang-orang seperti itu disebut apa? Mari kita renungkan.